Menunggu

picture1

Apakah kamu sudah lupa? Detik di mana kamu menghitung waktu, menyadari penantianmu sebentar lagi akan berakhir.

—ummu syauqi

Aku bukanlah tipe orang yang senang menunggu.

Apalagi jika tidak ada kepastian sampai kapan aku harus menunggu.

Akan tetapi,

Aku juga termasuk tipe orang yang menikmati menunggu.

Apalagi jika aku tahu terminal waktu di mana aku akan berhenti menunggu.

Menunggu itu menyenangkan.

Saat kamu tahu, kapan penantianmu akan berakhir.

Menyenangkan menghitung dentingan waktu.

Perasaan berdebar yang semakin menggebu.

Saat kamu tahu, sebentar lagi kamu akan bertemu.

Kau dan Dia

Dia,
Tak pernah mengeluhkan debu kapur berterbangan yang menyesakkan dadanya.
Dia,
Tak pernah mengeluhkan bau spidol menyeruak yang menyengat hidungnya.

Dia telah mengorbankan waktunya,
Waktu yang bisa ia gunakan untuk mengerjakan pekerjaan lain,
Waktu yang bisa ia gunakan untuk keluarganya,
Waktu yang bisa ia gunakan untuk beristirahat,
Ia korbankan itu semua hanya untuk mendidikmu di sekolah,
Tak sekedar mengajarimu ilmu namun jua mendidik akhlakmu.
Tak sekedar memberi petuah namun jua menjadi teladan untukmu.

Apa? Apa kau mengeluh saat belaian ibu membangunkanmu di pagi hari untuk sekolah?
Andai kau tahu seberapa shubuh dia bangun untuk menyiapkan semuanya?
Pernahkah kau mendengar cerita bahwa di pagi buta dia terburu-buru membereskan rumah dan menyiapkan sarapan untuk keluarganya sebelum mendidikmu di sekolah?
Pernahkah kau mendengar cerita bahwa di pagi buta dia mempersiapkan ilmu-ilmu terbaik untuk disampaikan kepadamu di sekolah?

Apa? Apa kau mengeluh saat kau harus belajar di sekolah?
Andai kau tahu bagaimana perasaan dia melihatmu begitu?
Di saat kau hanya cukup memperhatikannya, dia harus mempersiapkan semua yang akan dia sampaikan padamu.
Di saat kau hanya cukup mengerjakan, dia harus berputar otak mencari pertanyaan-pertanyaan untukmu.
Di saat kau hanya cukup mengajukan pertanyaan, dia harus memikirkan jawaban terbaik apa yang harus dia sampaikan padamu—sebab dia tahu persis, yang paling sulit dari menjawab pertanyaanmu bukanlah mencari jawaban namun cara menyampaikan jawaban agar kau dapat mengerti.

Apa? Apa kau mengeluh saat dia memberimu tugas?
Andai kau tahu apa tujuan sebenarnya dia memberimu tugas?
Kau cukup mengerjakan tugas itu,
Namun, dia harus memikirkan tugas apa yang kira-kira tepat untukmu.
Kau cukup mengerjakan tugas itu,
Namun, dia harus memikirkan andaikan kau salah menjawab, harus seperti apa dia menjelaskan ilmu itu padamu.

Apa? Apa kau mengeluh saat dia menegurmu?
Andai kau tahu mengapa dia sampai seperti itu?
Di pundaknya tersimpan amanah dan tanggung jawab yang begitu besar.
Apa kau tahu, orang tuamu menitipkan dirimu padanya bukan sekedar untuk memberimu berbagai ilmu namun jua mendidikmu menjadi insan yang sejati?
Apa kau tahu, di akhirat nanti kelak dia akan dimintai pertanggung jawaban atas hal itu?

Kau tahu, saat kau tak jua mengerti, dia merasa sangat sedih.
Tidak! Dia sedih bukan karena kau tak bisa.
Dia sedih karena dia merasa gagal menjalankan tugasnya.
Dia sedih karena dia tak dapat melaksanakan amanahnya.
Lalu, dia akan berpikir begitu keras,
Harus seperti apa dia menyampaikan agar kau dapat mengerti?

Kau tahu, saat kau tak jua menjadi baik, dia merasa sangat sedih.
Tidak! Dia sedih bukan karena kelakuanmu.
Dia sedih karena dia merasa gagal mendidikmu.
Dia sedih karena dia merasa gagal menjalankan kewajibannya.
Dia sedih karena dia takut, di akhirat kelak, tentu hal itu harus dipertanggung jawabkannya.
Lalu, dia akan kembali berpikir keras,
Harus seperti apa dia menyampaikan agar kau mau mengamalkan?

Kau tahu, bebannya sangat berat.
Namun, pernahkah kau mendengar keluhan darinya?
Tidak!
Di depanmu ia tak tampakkan lelah itu.
Di depanmu ia tak tampakkan kecewa itu.
Di depanmu ia tak tampakkan sedih itu.
Berbeda sekali denganmu.
Yang menampakkan muka masam padanya.
Yang menjelek-jelekkan dia di belakangnya.
Yang mengeluh selalu tentangnya.

Kawan, mulai detik ini,
Mari kita renungi bersama,
Seberapa besar jasa dia untuk kita semua?
Seberapa banyak pengorbanan dia untuk kita semua?
Namun,
Pernahkah ia meminta kita untuk membalasnya?
Membalas setiap untaian kata yang keluar dari mulutnya?
Membalas setiap untaian do’a yang keluar dari hatinya?
Membalas setiap untaian letih yang keluar dari tubuhnya?

Lalu,
Kita renungi kembali,
Pernahkah kau memberinya hadiah kecil, sekali saja?
Pernahkah kau berbuat baik padanya, sekali saja?
Pernahkah kau mengucapkan terima kasih padanya, sekali saja?
Pernahkah kau mendo’akannya, sekali saja?

Jika belum,
Mari kita mulai dari detik ini,
Dan biarkan malaikat-malaikat di sampingmu menjadi saksi atas munculnya azzam baru yang kau tancap dalam hati.
Azzam untuk menjadi pribadi yang lebih baik dalam memuliakannya.

——–

PS: Kau tahu siapa ‘dia’ kan?

Fenomena Mudik

Libur panjang empat hari kemarin memberikan sebuah pembelajaran indah. Suatu peristiwa di mana langsung dimanfaatkan sebagai ajang mudik, khususnya bagi mereka—para mahasiswa perantau.

Dan, ya! Kita saksikan para mahasiswa itu berusaha keras dalam menyelesaikan studinya dengan nilai terbaik. Apalagi yang dari daerah merantau ke kota. Tentunya mereka ingin mempersembahkan yang terbaik untuk orang tua dan daerahnya.

Dan, ya! Kita kembali pada kasus mudik. Kita saksikan pula, para mahasiswa itu sibuk membeli beberapa oleh-oleh terbaik untuk kedua orang tuanya, sanak saudaranya.

Mereka berusaha melakukan yang terbaik. Mereka berusaha memberikan yang terbaik.

Dan, ya! Di balik semua peristiwa itu, ada ibrah indah yang disembunyikan-Nya. Di balik semua peristiwa itu, ada hikmah cantik mengintip malu dari-Nya.

Pernahkah kita berpikir bahwa sesungguhnya kita tengah merantau di dunia ini? Ya, dunia ini hanyalah tempat perantauan. Hanya sekedar tempat singgah sementara untuk kita dalam mempersiapkan yang terbaik sebelum kembali ke rumah yang sesungguhnya.

Jika kita bekerja keras mati-matian untuk meraih nilai A, coba kita pikirkan kembali, sekeras apa usaha kita untuk mendapat nilai baik dari-Nya?

Jika kita berjuang mati-matian untuk meraih simpati dosen, coba kita pikirkan kembali, sebesar apa perjuangan kita untuk mendapat ridha-Nya?

Jika kita mempersiapkan oleh-oleh terbaik untuk dibagikan di kampung nanti, coba kita pikirkan kembali, oleh-oleh terbaik apa yang telah kau persiapkan untuk-Nya? Oleh-oleh terbaik apa yang telah kau persiapkan saat nanti kau kembali pada-Nya? Oleh-oleh terbaik apa yang telah kau persiapkan untuk nanti saat berhadapan dengan-Nya?

Coba pikirkan kembali, kita berusaha mati-matian untuk meraih sesuatu yang fana, namun, apakah kita juga telah berusaha mati-matian untuk meraih sesuatu yang hakiki?

Kita berjuang mati-matian untuk meraih duniawi, tapi apakah kita juga telah berjuang mati-matian untuk meraih syurgawi?

Sepatutnya kita malu, fenomena mudik ini seharusnya menjadi tamparan bagi kita semua.

Maka, mari kita kembali perbaiki diri, jika untuk dunia saja kita berjuang mati-matian sampai seperti ini, maka untuk akhirat pun kita harus berjuang lebih mati-matian kembali.

Bahan muhasabah diri,
Bumi Allah, 16 Oktober 2013, 06.43

Invea Nur Mukti Lestari

Proof of Life

“Tinggalkan jejak kebaikan ke mana pun kakimu melangkah,”
—Ust. Miftah, tepatnya saat materi singkat dalam acara Bintang, di Mesjid Agung Cimahi Utara

Dentingan detik yang terus berdetak; berjalan memupuskan usia kita yang samar-samar. Kehidupan dan kematian adalah perputaran yang akan terus terjadi hingga Israfil menjalankan tugas utamanya.

Kematian adalah kepastian. Ia adalah suatu ketetapan yang dipenuhi dengan selaksa misteri. Dan Allah Yang Maha Adil telah memberi kita kesempatan; berjuta pilihan hadir dalam kehidupan.

Kematian adalah suatu keadaan di mana mulut kita tak lagi dapat meneriakkan kebenaran, tangan kita tak lagi dapat menolong sesama dan akhlak kita tak lagi dapat terasa oleh manusia lainnya. Ia adalah suatu masa di mana kita tak lagi bisa beraktifitas di dunia; saat sejarah mencatat kita telah tiada.

Bermilyar manusia telah pergi meninggalkan dunia ini. Namun, hanya sedikit dari mereka yang tercatat dalam lembar peradaban. Sisanya tenggelam dalam sejarah; tak tinggalkan seonggok nama untuk dikenang selain oleh anak-cucunya.

Mereka—yang namanya tak pernah hilang—meninggalkan jejak sebelum terbaring kaku di tanah. Mereka—yang namanya tak lekang oleh waktu—meninggalkan bukti kehidupan dengan berkarya; karya penuh cinta.

Rasulullah; senantiasa terkenang oleh dunia karena cinta dan akhlaknya. Abu Bakar; terkenang dalam sejarah karena kesetiaan dan kedermawanannya. Umar bin Khattab; terkenang dalam sejarah karena keberaniannya. Al-Khawarizmi; tak lekang oleh sejarah karena aljabarnya. Hasan Al-Bana; tercatat dalam sejarah karena pergerakannya. Pun jua mereka-mereka yang telah mencatatkan nama mereka dengan tinta dalam lembar sejarah.

Mereka terus hidup; walau tanah telah mengubur jasadnya. Mereka terus bermanfaat; walau Izrail telah mencabut nyawanya. Mereka terus terkenang; walau waktu terus berlalu meninggalkannya.

Lantas, manakah jalan yang kau pilih? Mencantumkan namamu di lembar sejarah dengan berkarya atau menjadi orang biasa; yang hilang tertelan sejarah saat kematian telah menghampirinya?

Bahan muhasabah diri yang masih lalai meninggalkan bukti kehidupan,
Bumi Allah, 15 September 2013, 19.40

Invea Nur Mukti Lestari

Mengapa Kau Masih Tak Peduli?

Mengapa? Mengapa kau hanya berdiam diri saat kau tahu saudara muslimmu tengah didzalimi? Mengapa kau hanya berdiam diri saat melihat berita mereka di tv? Mengapa kau hanya berdiam diri saat mereka satu per satu dibunuhi?

Mengapa? Mengapa kau masih tak peduli? Saat mereka yang gugur terus bertambah dari hari ke hari. Mengapa kau masih menutup mata hati? Saat mereka yang syahid terus bertambah—pergi meninggalkan bumi ini.

Mengapa? Mengapa kau menutup telinga kanan dan kiri? Saat kedzaliman di sana terus terjadi. Mengapa kau tak sedikit pun bersimpati? Saat umat muslim tak berhenti disakiti.

Pernahkah? Pernahkah sekali saja kau coba tuk memahami? Bagaimana perasaan mereka saat didzalimi? Pernahkah sekali saja kau coba tempatkan diri? Bagaimana perasaanmu jika itu terjadi pada dirimu sendiri?

Masihkah? Masihkah kau tak ingin berempati? Setelah semua informasi yang kau ketahui. Masihkah kau tak ingin peduli? Setelah semua kenyataan yang terhampar mengiris hati.

Bukankah seharusnya muslim itu ibarat satu tubuh? Satu bagian terluka, bagian lain turut merasakannya. Maka, pantaskah kita tidak peduli? Masih pantaskah kita bersikap tidak peduli?

Bukankah seharusnya setiap muslim itu bersaudara? Tapi mengapa kau masih saja berkata,’Untuk apa mengurusi mereka, negeri ini saja masih tak terurus!”? Apakah persaudaraan muslim musnah begitu saja dibatasi negara? Seperti itukah Rasulullah memberi contoh pada kita?

Pernahkah? Setetes saja kau keluarkan air matamu melihat penderitaan mereka? Pernahkah kau bandingkan? Lebih banyak mana? Darah yang tumpah ruah di sana? Atau tangis kepedulianmu pada mereka?

Beratkah? Begitu beratkah bagimu mengirimkan sebait do’a untuk mereka? Sebegitu beratkah lisanmu untuk mengatakannya? Sebegitu beratkah qalbumu tuk melantunkannya?

Sahabat, sejenak saja, ucapkan do’a untuk mereka sejenak saja. Allaahummanshur ikhwaananal musslimiina fi Mishr fi Syria fi Filistin wa fii kulli makan wa fi kulli zaman. Aamiin.

Terakhir, saya tutup dengan sebuah quotes penuh makna dari Perdana Menteri Turki, Erdogan,”Anda tidak perlu menjadi rakyat Mesir untuk bersimpati, anda hanya perlu menjadi manusia,”

Bahan muhasabah untuk diri yang seringkali tak peduli pada derita saudara muslim di bumi Allah ini 😥

Bumi Allah, 16 Agustus 2013, 22.20

 

Invea Nur Mukti Lestari

Memaknai Ramadhan

Bagi seorang muslim, ada satu bulan di antara kedua belas bulan dalam kalender hijriah yang kedatangannya senantiasa dinantikan. Bulan ini terkenal dengan bulan yang penuh dengan maghfirah keampunan. Pada bulan ini pula, amal kebaikan yang kita lakukan diganjar dengan ratusan kali lipat kebaikan. Sungguh, bulan tersebut adalah bulan di mana Al-Qur’an diturunkan. Bulan tersebut adalah bulan di mana kehadirannya disambut oleh semua muslim di dunia. Bulan itu adalah bulan Ramadhan.

Ramadhan. Bulan yang penuh kebaikan dan keberkahan. Di bulan ini, hawa fastabiqul khairat akan sangat terasa. Masjid yang biasanya sepi mendadak penuh dengan jamaah. Al-Qur’an yang jarang dilirik mendadak rajin sekali dibaca. Shalat shubuh yang sering kesiangan mendadak jadi sering berjamaah di masjid. Amarah dan hawa nafsu yang senantiasa diluapkan mendadak kini jauh lebih tertahan.

Ramadhan. Banyak dari kita berandai-andai, berharap semua bulan yang ada bisa semulia Ramadhan.

Ramadhan. Kehadirannya alangkah sangat dinanti-nanti. Kepergiannya seringkali kita tangisi. Namun, satu hal yang jarang kita sadari, seringkali setelah Ramadhan pergi, iman kita mendadak turun kembali.

Miris. Apakah kita selama ini terlalu berlarut dalam euforia? Alangkah semangatnya kita beribadah di bulan Ramadhan, namun ke mana semangat ibadah kita pada sebelas bulan lainnya?

Tidak! Bukan seperti itu. Allah menjadikan bulan Ramadhan sebagai bulan penuh kemuliaan bukan dengan tujuan seperti itu. Ia justru menciptakan bulan Ramadhan sebagai bulan training untuk kita. Sebuah bulan yang dijadikan latihan agar kita dapat bersurvivedalam beribadah di sebelas bulan lainnya.

Maka, memaknai Ramadhan bukan hanya sekedar berlomba-lomba dalam kebaikan di bulan tersebut. Mengistiqomahkan apa yang sudah kita laksanakan di bulan selain Ramadhan pun adalah salah satu dari bagian memaknai Ramadhan. Karena Allah menyukai amalan yang diistiqomahkan. Maka alangkah lebih baiknya jika ibadah besar yang biasa kita lakukan di bulan Ramadhan kita istiqomahkan.

Ramadhan boleh berlalu pergi, namun jangan sampai ghirah perjuangan kita dalam beramal turut berlalu bersamanya. Biarkan Ramadhan pergi hingga tiba waktunya ia akan kembali, namun jangan pernah kita biarkan amalan-amalan baik kita berlalu pergi bersamanya.

Maka, setelah Ramadhan kali ini pergi, kita isi sebelas bulan ke depan dengan kebaikan yang biasa kita lakukan di bulan Ramadhan kemarin hingga ketika Ramadhan yang baru datang menghampiri, kita tingkatkan amalan kita di bulan tersebut dan kita istiqomahkan tingkatan amalan tersebut di sebelas bulan berikutnya dan begitu seterusnya. Sehingga dari tahun ke tahun, amalan-amalan kita akan senantiasa terus meningkat baik secara kualitas maupun secara kuantitas.

Berat memang, namun setiap usaha kita akan dilihat-Nya. Karena Dia senang melihat hamba-Nya berpayah penuh pengorbanan mendekati-Nya. Sebab besar kebaikan yang kau dapatkan sesuai dengan besarnya kepayahan yang kau lakukan. Semoga itu bisa menjadi salah satu jalan kebaikan yang menjadikan Allah semakin mencintai kita semua. Aamiin.

Bahan muhasabah untuk diri yang seringkali terlalu larut dalam euforia,

Bumi Allah, 7 Agustus 2013, 15.17

 

Invea Nur Mukti Lestari

Sakit, Lagi

Sakit itu anugerah. Sebab di saat itu, Allah ingin menyucikan dirimu. Ia hendak membersihkan noda lumpur yang menempel di hatimu. Ia hendak menghapus setiap dosa-dosamu. Seperti yang telah dikabarkan sang Rasul padamu,” Tidaklah menimpa seorang mukmin rasa sakit yang terus menerus, kepayahan, penyakit, dan juga kesedihan, bahkan sampai kesusahan yang menyusahkannya, melainkan akan dihapuskan dengan dosa-dosanya,”

Sakit itu anugerah. Dia ingin engkau berehat sejenak dari segudang aktifitasmu. Mungkin selama ini kau terlalu memaksakan tubuhmu. Mungkin selama ini kau kurang seimbang dalam memperlakukan tubuhmu. Bukankah tubuhmu juga memiliki hak untuk beristirahat?

Sakit itu anugerah. Ketika kau berpayah memaksakan dirimu beribadah untuk-Nya, Dia akan membalasnya dengan kebaikan yang lebih berlimpah. Sebab besarnya pengorbananmu adalah bukti cintamu pada-Nya. Sebab pahala yang kau dapatkan setara dengan kadar kepayahanmu.

Sakit itu anugerah. Seringkali saat sakit kita semakin mendekat pada-Nya. Beribadah lebih khusyu dari biasanya. Berdo’a lebih panjang dari biasanya. Berdzikir lebih sering dari biasanya.

Sakit itu anugerah. Tika sakit, alangkah mudahnya diri ini mengingat ajal yang kian mendekat. Tika sakit, alangkah mudahnya diri ini menyesali dosa-dosa yang telah kita perbuat. Tika sakit, alangkah mudahnya diri ini mencemaskan qalbu yang hitam pekat, penuh akan lumpur dosa yang melekat. Tika sakit, alangkah mudahnya diri ini mengkhawatirkan keadaan nanti di akhirat. Sebuah keadaan yang seringkali sulit kita hadirkan saat tubuh ini sehat.

Sakit itu anugerah. Itu adalah salah satu tanda Allah mencintaimu. Mungkin saja Ia merasa rindu, ingin kau datang menghampiri-Nya. Mungkin saja Ia merasa rindu, ingin kau datang mengiba pada-Nya. Mungkin saja Ia merasa rindu, ingin kau datang merayu-Nya. Mungkin saja Ia merasa rindu, ingin kau datang bermesra dengan-Nya.

Sakit itu anugerah. Ujian itu tak hanya sekedar bisa dihadapi dengan sabar. Tapi ia dapat kita lewati seraya melantunkan syukur. Sebab sakit itu anugerah. Kita bisa melewatinya dengan menggenapkan sabar dan syukur, dua kendaraan indah seorang muslim yang bisa mengantarkannya melewati kehidupan dengan penuh kebaikan.

 

Bahan muhasabah diri, di kala rasa sakit itu datang kembali menghampiri,

Bumi Allah, 27 Juli 2013, 21.51

 

Invea Nur Mukti Lestari

Death Note

Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati.

—Al-Qur’an

 

Kematian. Kata ini tidaklah asing terdengar di telinga kita. Sebuah masa di mana taubat kita tak akan lagi diterima. Suatu ketika di mana akan menghampiri setiap manusia.

Kematian. Ia akan senantiasa mengincar kehidupan manusia. Kita tak pernah tahu kapan ia akan menghampiri kita. Ia adalah rahasia-Nya hingga Imam Al-Ghazali pun berkata bahwa ajal itulah yang paling dekat dengan kita.

Kematian. Ia tak pernah bisa kita duga. Kapan, di mana dan saat kita sedang apa. Kita sama sekali tak dapat mengintip rahasia itu, walau hanya setitis. Seperti kisah dua insan di dekat saya, yang satu gadis manis—menjalani hidup dengan ceria, sedang yang satu—amma—dilanda penyakit berbahaya.

Amma, penyakit yang dideritanya seringkali membawanya ke dalam kondisi kritis, tak sadarkan diri berhari-hari, membuat sang dokter seringkali memvonis dirinya tak mampu bertahan lama. Namun, kematian memanglah rahasia. Jika memang belum Allah izinkan, ia belum akan hadir menimpa manusia. Pun jua pada Amma, vonis-vonis dokter yang melandanya berkali-kali ternyata bila tak Allah izinkan memang tidak akan terjadi. Amma masih bertahan sampai saat ini, meski harus bolak-balik berobat keluar negeri.

Sementara satu yang lain, gadis ceria bernama Ika. Masih terngiang di kepala, saat di hari sebelumnya ia masih ada menemani kita, di sekolah, bercanda dan tertawa. Namun, sekali lagi kematian memanglah rahasia. Semua pun terkejut saat di esok malamnya mendengar kabar Ika telah tiada. Kecelakaan di Ciwidey telah merenggut nyawanya.

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan.” (Q.S.Al-‘Anbiya: 35)

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kemudian hanyalah kepada Kami, kamu dikembalikan.” (Q.S.Al-Ankabut: 57)

Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (Q.S.Ali-Imran: 185)

Kematian itu rahasia dan akan tetap menjadi rahasia-Nya. Dia tahu tabiat kita, karena itu ia merahasiakannya. Sebab Dia ingin, dengan begitu, kita akan berusaha melakukan yang terbaik untuk-Nya.

 

Bahan muhasabah untuk diri yang seringkali lalai mmengingat mati.

Bumi Allah, 20 Juli 2013, 20.25

 

Invea Nur Mukti Lestari

Untuk Sebuah Mentoring

Mentoring, mungkin itu bukanlah kata asing bagi seseorang yang mengikuti kegiatan LDS/LDK di lingkungannya. Sebuah lingkaran yang senantiasa hadir dijadwalkan seminggu sekali. Sebuah perkumpulan di mana tiada akan kecewa siapa pun yang duduk membersamainya. Sebuah pertemuan di mana ketenangan turun kepada mereka, rahmat meliputi majelisnya, malaikat menaungi mereka dan Allah menyebut-nyebut mereka dengan bangga di depan malaikat-malaikat yang ada di sisiNya.

Mentoring, alangkah indahnya kegiatan tarbiyah ini. Di mana ayat-ayat suci dilantunkan. Hafalan-hafalan Qur’an dan hadits di setorkan. Serta ilmu ditambahkan. Dalam perkumpulan inilah silaturahmi senantiasa dikencangkan. Satu sama lain saling berbagi. Satu sama lain saling memberi. Satu sama lain saling memotivasi.

Mentoring, saking menawannya kegiatan ini, dapat kita lihat betapa orang-orang di luar sana banyak berkorban untuk meraihnya. Lihatlah, di luar sana masih ada sekelompok rohis yang pontang-panting mencari murabbi untuk dapat membimbing mereka. Lihat, di luar sana masih ada yang terseok-seok menghadapi perjalanan berpuluh kilometer hanya untuk dapat menghadiri mentoring sekalipun hanya sekedar mendengar do’a rabithah sebagai penutup.

Maka, mengapa kita masih bermalas-malasan menghadiri perkumpulan itu? Mengapa kita masih sulit meluangkan waktu dua jam untuk mentoring dari 168 jam yang telah Allah berikan dalam seminggu untuk kita? Bukankah jika begitu sama saja dengan kita mengkufuri nikmat yang telah Allah berikan pada kita?

Sahabat, mentoring mungkin bukan segala-galanya, tapi bukankah segala-galanya bermula dari mentoring? Bukankah sahabat sering mendengar itu dalam versi yang lain? Ya, tarbiyah memang bukan segala-galanya, tapi bukankah segala-galanya bermula dari tarbiyah?

Lantas, saat kita hendak izin untuk tidak menghadiri suatu khalaqah, cobalah kita pikirkan saudara-saudara muslim di luar sana yang harus berkorban begitu dalam untuk dapat menghadiri liqo. Dapatkah sahabat bayangkan, anak-anak palestina yang tetap berjalan teguh menghadiri liqo sekalipun di sepanjang perjalanan peluru dan senjata zionis senantiasa menghampiri mereka? Dapatkah sahabat bayangkan anak-anak palestina yang bahkan harus menelan kertas berisikan ayat yang harus mereka hafal agar tidak dibunuh oleh musuh Allah? Jika mereka saja yang terancam meregang nyawa untuk menghadiri suatu khalaqah tetap penuh semangat menghadiri liqo, mengapa kita yang sudah terfasilitasi begitu berleha-leha dan bermalas-malasan menghadiri liqo? Bukankah itu berarti kita telah mengkufuri nikmat-Nya?

Pernahkah sahabat bayangkan perasaan murabbi/murabbiyah sahabat yang telah susah payah meluangkan waktu dari segala kesibukannya, menyisihkan uang untuk membeli makanan ringan untuk mad’unya, serta berlelah-lelah menaiki kendaraan hanya untuk sekedar membimbing sahabat? Lantas, kita yang cukup duduk manis mendengarkan, mengapa masih malas datang?

Ingat sahabat, sekali kita meninggalkan dakwah, kali berikutnya, dakwahlah yang akan meninggalkan kita. Karena jika dakwah tidak bersama kita, ia bisa bersama orang lain, namun jika tidak bersama dakwah, kita akan bersama siapa?

Terakhir, kutuliskan ini teruntuk mereka, para murabbi/murabbiyah, jangan sampai langkah perjuangan kalian terhenti hanya karena mad’u yang menghadiri mentoring sangatlah sedikit. Sebab yang Allah lihat, bukanlah sekedar seberapa banyak orang yang telah kalian bimbing tapi yang Allah nilai adalah proses kalian membimbing mereka. Kita tidak pernah tahu rencana Allah, siapa tahu Allah tengah menguji keikhlasan kalian dalam menapaki dakwahnya. Mungkin saja, Allah hanya ingin memastikan bahwa setiap pengorbanan yang kalian lakukan memang semata-mata diniatkan karena-Nya.

 

Afwan jika banyak kekurangan serta istilah yang tidak seharusnya ditulis. Afwan pula jika dalam tulisan kali ini vea terlalu terbawa emosi. Kritik dan saran serta sharing pengalaman dinantikan di kotak komentar. Jadzakallah khairan katsira.

 

Bahan muhasabah diri yang seringkali mengkufuri nikmat-Nya,

Bumi Allah, 1 Juni 2013, 08.39

 

Invea Nur Mukti Lestari

Dari Sebuah Kegagalan

“Gagal itu bukan masalah, yang jadi masalah adalah jika kau tak dapat mengambil hikmah darinya.”

Sudah tabiat manusia, menganggap kegagalan sebagai batu sandung. Ranjau berduri tuk meraih keberhasilan. Maka kehadirannya seringkali dikeluhi. Bahkan tak jarang bayang-bayangnya ditakuti. Lantas, jika memang seperti itu, mengapa Allah turunkan kegagalan untuk kita?

Pada hakikatnya, di balik sebuah kegagalan, Allah telah sisipkan setidak-tidaknya sebuah hikmah di baliknya. Bahkan, jika kita mau membuka mata hati kita untuk menatap lebih jauh, ada berjuta ibrah di baliknya.

Lewat sebuah kegagalan, Allah kirimkan berjuta kebaikan. Sebab di sebalik kegagalan, ada lahan muhasabah yang telah Allah turunkan. Sebab dengan kegagalan, kita dapat menilai dan mengukur diri. Telah sejauh manakah kita berjuang? Telah setulus apakah kita bertawakkal? Hingga di akhirnya, Allah ingin kita mengevaluasi diri. Di manakah bagian yang harus kita perbaiki?

Lewat sebuah kegagalan, Allah kirimkan berjuta kebaikan. Sebab dengan adanya kegagalan, kau akan berikhtiar lebih dalam berjuang. Sebab dengan banyaknya pengorbanan, akan menghasilkan cinta yang lebih dalam. Lantas, tidakkah kita berpikir bahwa kegagalan adalah jalan tuk membuktikan cinta kita padaNya?

Lewat sebuah kegagalan, Allah kirimkan berjuta kebaikan. Sebab dengan adanya kegagalan, Allah ingin kau terus berharap. Sebab dengan adanya kegagalan, Allah ingin kau terus mendekat. Lantas, tidakkah kita berpikir bahwa kegagalan adalah sebuah isyarat bahwa Allah ingin bermesra denganmu?

Lewat sebuah kegagalan, Allah kirimkan berjuta kebaikan. Sebab dalam sebuah kegagalan, Allah sisipkan sebuah parameter bernama keikhlasan. Sebab dengan sebuah kegagalan, Allah hendak mengujimu, benarkah semua yang kau lakukan itu hanya karenaNya?

Lantas, jika melihat jutaan kebaikan itu, masih pantaskah kita mengeluhkan kegagalan jika pada hakikatnya ia adalah salah satu anugerah yang sepatutnya kita syukuri? Karena yang terpenting itu bukanlah seberapa sukses atau gagal dirimu, namun seberapa dekat dirimu dengan Allah dalam melewati setiap peristiwa itu.

 

Bahan muhasabah diri yang seringkali mengkufuri nikmatnya,

Bumi Allah, 29 Mei 2013, 22.35

 

Invea Nur Mukti Lestari