Dari Sebuah Kegagalan

“Gagal itu bukan masalah, yang jadi masalah adalah jika kau tak dapat mengambil hikmah darinya.”

Sudah tabiat manusia, menganggap kegagalan sebagai batu sandung. Ranjau berduri tuk meraih keberhasilan. Maka kehadirannya seringkali dikeluhi. Bahkan tak jarang bayang-bayangnya ditakuti. Lantas, jika memang seperti itu, mengapa Allah turunkan kegagalan untuk kita?

Pada hakikatnya, di balik sebuah kegagalan, Allah telah sisipkan setidak-tidaknya sebuah hikmah di baliknya. Bahkan, jika kita mau membuka mata hati kita untuk menatap lebih jauh, ada berjuta ibrah di baliknya.

Lewat sebuah kegagalan, Allah kirimkan berjuta kebaikan. Sebab di sebalik kegagalan, ada lahan muhasabah yang telah Allah turunkan. Sebab dengan kegagalan, kita dapat menilai dan mengukur diri. Telah sejauh manakah kita berjuang? Telah setulus apakah kita bertawakkal? Hingga di akhirnya, Allah ingin kita mengevaluasi diri. Di manakah bagian yang harus kita perbaiki?

Lewat sebuah kegagalan, Allah kirimkan berjuta kebaikan. Sebab dengan adanya kegagalan, kau akan berikhtiar lebih dalam berjuang. Sebab dengan banyaknya pengorbanan, akan menghasilkan cinta yang lebih dalam. Lantas, tidakkah kita berpikir bahwa kegagalan adalah jalan tuk membuktikan cinta kita padaNya?

Lewat sebuah kegagalan, Allah kirimkan berjuta kebaikan. Sebab dengan adanya kegagalan, Allah ingin kau terus berharap. Sebab dengan adanya kegagalan, Allah ingin kau terus mendekat. Lantas, tidakkah kita berpikir bahwa kegagalan adalah sebuah isyarat bahwa Allah ingin bermesra denganmu?

Lewat sebuah kegagalan, Allah kirimkan berjuta kebaikan. Sebab dalam sebuah kegagalan, Allah sisipkan sebuah parameter bernama keikhlasan. Sebab dengan sebuah kegagalan, Allah hendak mengujimu, benarkah semua yang kau lakukan itu hanya karenaNya?

Lantas, jika melihat jutaan kebaikan itu, masih pantaskah kita mengeluhkan kegagalan jika pada hakikatnya ia adalah salah satu anugerah yang sepatutnya kita syukuri? Karena yang terpenting itu bukanlah seberapa sukses atau gagal dirimu, namun seberapa dekat dirimu dengan Allah dalam melewati setiap peristiwa itu.

 

Bahan muhasabah diri yang seringkali mengkufuri nikmatnya,

Bumi Allah, 29 Mei 2013, 22.35

 

Invea Nur Mukti Lestari

Menjaga, Tak Sekedar Memperoleh

Ukhuwah. Begitu banyak orang membicarakan keindahannya. Salah satu karunia yang telah Allah berikan bagi umat manusia. Salah satu anugerah yang harganya jauh lebih mahal dari infak seluruh perbendaharaan yang ada di bumi, sebagaimana yang telah Allah cantumkan dalam firman-Nya,”Dan Dia (Allah) yang mempersatukan hati mereka (orang yang beriman). Walaupun kamu menginfakkan semua (kekayaan) yang berada di bumi, nisyaca kamu tidak dapat mempersekutukan hati mereka, tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sungguh, Dia Mahaperkasa, Mahabijaksana.” [Q.S.Al-Anfal: 63]

Ukhuwah. Mendengar kata tersebut, teringatkah dalam kepala sahabat awal-awal menjalin ukhuwah dengan teman seperjuangan sahabat? Terlintaskah bayangan saat sahabat pertama kali bertemu dengan teman seperjuangan sahabat? Terbayangkah masa-masa di mana sahabat dengan canggung memulai sebuah percakapan kecil yang berakhir dengan perkenalan dan teman seperjuangan yang baru? Ingatkah?

Betapa indahnya saat awal-awal kita menjalin ukhuwah dengan seorang teman seperjuangan yang baru. Awal-awal mengenalnya kita merasakan begitu banyak persamaan. Awal-awal mengenalnya kita saling berbagi semangat dakwah yang tinggi.

Namun, sadarkah sahabat, hakikatnya temen seperjuanganmu itu adalah amanah yang telah Allah beri padamu?

Ya, dia adalah amanah yang harus kau jaga. Pada dirinya terdapat hak-hak yang harus kita tunaikan. Mengingatkannya, mengajaknya bersama-sama menuju kebaikan, menjenguknya ketika sakit, mencintainya sebagaimana kita mencintai diri kita sendiri, dan begitu banyak hak-hak lainnya yang harus kita penuhi. Pada dirinya terdapat juga cermin untukmu berkaca, sebagaimana yang telah Rasulullah sampaikan,”Mukmin yang satu adalah cermin bagi mukmin yang lain,”

Maka, pekerjaan seorang muslim kepada sesama tak hanya sekedar memperoleh ukhuwah. Pekerjaan seorang muslim kepada sesama tak hanya sekedar melebarkan jaringan tuk mendapatkan koneksi. Pekerjaan seorang muslim kepada sesama tak hanya sekedar itu. Ada pekerjaan lebih di balik itu. Ada amanah lebih di balik setiap perkenalan.

Menjaga, tak sekedar memperoleh.

Saat kita baru menjalin tali persaudaraan dengan seseorang, maka tugas kita berikutnya adalah menjaga ukhuwah tersebut. Saat kita baru memulai perkenalan dengan seseorang, maka tugas kita berikutnya adalah menjaga ukhuwah tersebut. Saat kita mendapatkan teman seperjuangan yang baru, maka tugas kita berikutnya adalah menjaga ukhuwah tersebut.

Menjaga ukhuwah tentu tak semudah yang kita bayangkan. Menjaga ukhuwah tentu akan jauh lebih sulit dibandingkan saat kita mengawali menjalin ukhuwah. Sebab dalam lika-liku ukhuwah, kau akan mendapati perbedaan. Sebab dalam lika-liku ukhuwah, kau akan mendapati goncangan. Sebab dalam lika-liku ukhuwah, kau akan mendapati ujian.

Ukhuwah itu ibarat sebuah kepercayaan. Kepercayaan mungkin pada awalnya begitu mudah didapatkan, namun dibutuhkan usaha lebih untuk menjaganya. Sahabat saya pernah berkata,”Kepercayaan itu ibarat kertas, sekali kita remas ia tak akan kembali sempurna. Sekali kita berkhianat, akan sulit untuk memperoleh kepercayaan kembali seperti semula,” [Seorang sahabat berinisal RA]. Pun jua dengan ukhuwah, jika kita merusaknya, tentu akan sulit bagi kita untuk menjalin kembali ukhuwah tersebut.

Oleh sebab itu, penting kiranya bagi kita untuk menjaga ukhuwah. Agar tali persaudaraan itu semakin kokoh. Agar cahaya permatanya semakin berkilau. Agar setiap pertemuannya semakin barakah. Pun jua agar ukhuwah kita seperti yang dilukiskan dalam hadits Rasulullah,” Allah mempunyai hamba-hamba yang bukan nabi dan bukan syuhada, tapi para nabi dan syuhada tertarik oleh kedudukan mereka di sisi Allah.

Para sahabat lantas bertanya, “Wahai Rasulullah, siapa mereka dan bagaimana amal mereka? Semoga saja kami bisa mencintai mereka.”

Rasulullah saw. pun bersabda, “Mereka adalah suatu kaum yang saling mencintai dengan karunia dari Allah. Mereka tidak memiliki hubungan nasab (kekeluargaan) dan tidak memiliki harta yang mereka kelola bersama.

Demi Allah keberadaan mereka adalah cahaya dan mereka kelak akan ada di atas mimbar-mimbar dari cahaya. Mereka tidak merasa takut ketika banyak manusia merasa takut. Mereka tidak bersedih ketika banyak manusia bersedih.”

Kemudian Rasulullah saw. membacakan firman Allah:“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”. (Q.S. Yunus [10]: 62).

Alangkah rindunya kita untuk memperoleh semua itu. Betapa tentu kita mengharapkan untuk dapat kembali berkumpul bersama dengan semua teman seperjuangan kita di surga-Nya kelak. Semoga Allah menjadikan kita salah satu dari kaum yang telah digambarkan Rasulullah dalam haditsnya tersebut. Aamiin..

 

Bahan muhasabah untuk diri ini yang berkali-kali merusak ukhuwah suci. Maafkan diri ini yang seringkali mengecewakanmu, sahabat.

Bumi Allah, 14 Mei 2013, 19.47

Invea Nur Mukti Lestari

 

 

Tambahan ^^v

Namun, bagaimanakah jika tanpa sengaja kita telah merusak ukhuwah yang telah terjalin?

Maka yang perlu kita lakukan adalah berikhtiar dengan cara meminta maaf. Menurut Salim A Fillah, dalam ukhuwah terdapat sekeping mata uang yang paling mahal, di satu sisi ia bertuliskan,”Akuilah kesalahanmu,” dan di sisi lain terukir sebuah kalimat,”Maafkanlah saudaramu yang bersalah,”

Lalu, bagaimana jika sahabat kita tidak mau memaafkan kita dan justru malah menjauhi kita?

Bersabarlah, sahabat. Jika ikhtiar meminta maaf telah kau lakukan, berusaha menjalin kembali ukhuwah telah kau laksanakan, serta menyambung tali silaturahmi telah kau usahakan, namun ternyata ia tetap tak bergeming dan tetap tidak memaafkan kita, maka berdo’alah pada Allah. Mintalah pada-Nya untuk melembutkan hati sahabat kita agar ia mau memaafkan kita. Sesungguhnya, mudah bagi Allah untuk membolak-balikkan hati manusia. Di samping itu, marilah kita evaluasi diri kita. Mungkin saja usaha kita masih kurang cukup, mungkin saja dosa-dosa kita membuat benteng hijab terkabulnya do’a dari Allah, teruslah bermuhasabah dan berhusnudzonlah pada Allah. Dan tak lupa, tetaplah mendo’akan yang terbaik untuk sahabat kita sekalipun ia tak mengetahuinya, atau sekalipun ia menjauhi kita.

Dan di akhir, izinkan saya tutup notes kali ini dengan sebait mutiara yang tercantum dalam buku Dalam Dekapan Ukhuwah karya Salim A Fillah,

“Karena saat ikatan melemah,

Saat keakraban kita merapuh,

Saat salam terasa menyakitkan,

Saat kebersamaan serasa siksaan,

Saat pemberian bagai bara api,

Saat kebaikan justru melukai,

Aku tahu,

Yang rombeng bukan ukhuwah kita,

Hanya iman-iman kita,

Yang sedang sakit, atau mengerdil,

Mungkin dua-duanya,

Mungkin kau saja,

Tentu terlebih sering,

Imankulah yang compang-camping,”

 

Selamat menjalin ukhuwah, bersama menuju jannah-Nya!

Belajar dari Orang Sakit

Sudah lebih dari tiga tahun saya mengenalnya, mengenal seorang insan berinisial ‘amma’ yang Allah uji dengan sakit yang membuatnya harus berkali-kali bolak-balik rumah sakit. Selama mengenalnya itulah, saya pun mendapat banyak pembelajaran berharga darinya.

Pernahkah sahabat melihat orang yang terbaring di rumah sakit? Melihat mereka yang di dalam tubuhnya tertanam penyakit-penyakit kronis seperti kanker misalnya? Pernahkah? Jika kita yang ada di posisi mereka, apa yang akan kita lakukan?  Apakah kita akan mengeluh? Apakah kita akan menyalahkan Allah? Ataukah kita hanya terdiam pasrah?

Tapi sahabat, tidak dengannya. Lewat insan itu, saya belajar arti sebuah keikhlasan. Tak pernah sedikit pun terlontar dari bibirnya sebuah pertanyaan,”Ya Allah, mengapa harus saya yang mengalami ini?” Ia menerima ujian sakit tersebut dengan keikhlasan. Ia tak pernah menyalahkan Allah atas apa yang ia alami. Sebaliknya, ia justru menerimanya dengan dada yang lapang. Ia mengerti ada rencana terbaik dari Allah di balik ujian sakitnya. Lalu bagaimana dengan kita? Apakah kita akan bersikap seperti itu ketika ujian Allah datang menghampiri?

Lewat dirinya pulalah saya belajar arti sebuah ikhtiar yang maksimal. Keadaan yang membuatnya harus bulak-balik masuk UGD tidak menyurutkan semangatnya untuk sembuh. Vonis-vonis dokter yang mengatakan ia tidak akan mampu bertahan sama sekali tidak mematahkan keinginannya untuk bisa sehat. Ia lakukan yang terbaik agar ia bisa sembuh. Ia bahkan sampai menjalani pengobatan ke Singapura untuk kesembuhannya. Lalu, bagaimana dengan kita? Sudahkah kita berusaha melakukan yang terbaik dalam hidup kita? Sudahkah kita memaksimalkan seluruh ikhtiar kita?

Lewat orang itu, saya belajar arti dari sebuah tawakkal. Setelah semua jerih payah ikhtiarnya, dia tetap menyerahkan keputusan terbaik pada Allah. Dia bahkan sampai berkata,”Aku sudah berusaha semampuku, mengupayakan kesembuhanku, namun, andaikata Allah berkehendak mencabut nyawaku saat ini juga, aku ikhlas. Aku tahu Allah memiliki rencana terbaik untuk kita,”

Dan dari orang itu pulalah, saya belajar arti dari sebuah semangat dakwah. Sekalipun kondisinya seperti itu, ia tidak berhenti berdakwah. Ia tetap aktif mengikuti kegiatan rohis baik di sekolahnya maupun kegiatan DKM di sekitar rumahnya. Ia tetap bersemangat mentarbiyah adik kelasnya. Ia tetap menjaga amalan-amalan yaumiahnya. Ia bahkan dapat meningkatkan prestasinya di sekolah. Di tengah keterbatasannya, ia tetap bersemangat melibatkan diri dalam dakwah. Lalu, bagaimana dengan kita?

Lewatnya, saya tersadar. Seharusnya saya dapat lebih bersyukur, Allah telah melimpahkan kesehatan pada diri saya sehingga aktifitas saya sama sekali tidak terganggu.

Lewatnya, saya tersadar. Jika amma yang sakit saja mampu berkontribusi untuk dakwah, mengapa saya yang sehat tidak mampu berkontribusi lebih?

Padahal, Rasulullah telah memperingatkan kita dengan sebuah hadits,”Dua kenikmatan, kebanyakan manusia tertipu pada keduanya: kesehatan dan waktu luang”. (HR. Bukhari, no: 5933)

Oleh karena itu, yuk ah kita syukuri kesehatan ini dan kemudian kita manfaatkan sebaik-baiknya untuk meraih cinta-Nya.

Bahan muhasabah diri, ketika kenikmatan sehat itu seringkali terabaikan.

Bumi Allah, 13 Mei 2013, 11.01

Invea Nur Mukti Lestari

Futur

Futur

Berawal dari sebuah renungan, ketika diri ini terpendam dalam sebuah kefuturan, tersingkap sebuah hikmah kecil yang mungkin jarang kita sadari.

Futur.

Siapa yang tak kenal dengan kata di atas? Terutama bagi mereka yang menyandang status ‘aktivis’, tentu mereka tak akan asing dengan kata di atas.

Ya, futur.

Suatu kondisi di mana grafik iman kita menurun. Suatu masa di mana amalan-amalan yaumiah kita berkurang. Suatu waktu di mana semangat ghirah kita melemah. Suatu keadaan di mana rasa malas menghampiri kita.

Futur.

Suatu keadaan di mana kita menganggapnya sebagai salah satu duri dalam menapaki jalan perjuangan menuju cinta-Nya. Suatu keadaan di mana kita berharap ia tak pernah datang menghampiri kita. Suatu keadaan di mana kira menganggapnya sebagai noda dalam lika-liku grafis iman kita.

Di sini saya belajar, tapi saya mencoba memahami sisi yang lain.

Pernahkah kita pikirkan, jika futur itu sebegitu buruknya di pandangan kita selaku manusia, kenapa Allah menjadikan keadaan itu ada? Pernahkah kita pikirkan, adakah ibrah yang tersembunyi di sebalik ke-futur-an?

Sekali lagi, di sini saya belajar, tapi saya mencoba memahami sisi yang lain.

Pernahkah sahabat bertafakur sejenak memaknai ke-futur-an? Pernahkah sahabat mencoba untuk berhusnudzon pada Allah dengan adanya ke-futur-an yang melanda kita?

Sekali lagi saya tekankan, di sini saya belajar, tapi saya mencoba memahami sisi yang lain.

Futur itu ada, agar kita selaku manusia tidak bersikap sombong. Sebab dengan naik-turunnya iman, kita akan terhindar dari kondisi membanggakan diri.

Futur itu ada, agar kita selaku manusia tidak bersikap sombong. Sebab dengan hadirnya futur, kita akan merasa lemah tiada berdaya di hadapan-Nya

Futur itu ada, agar kita selaku manusia tidak bersikap sombong. Sebab Allah membenci makhluk-makhluk-Nya yang sombong.

Lagi, saya tekankan, di sini saya belajar, tapi saya mencoba memahami sisi yang lain.

Pernahkah sahabat renungkan bahwa perjuangan melawan ke-futur-an memberikan begitu banyak kebaikan?

Bukankah besarnya pahala berbanding lurus dengan beratnya haling rintang?

Bukankah besarnya pahala berbanding lurus dengan besarnya kekuatan sahabat melawan hawa nafsu?

Saya kembali tekankan, di sini saya belajar, tapi saya mencoba memahami sisi yang lain.

Jika seperti itu, mengapa kita masih mengeluh dengan keadaan futur? Bukankah kita bisa menjadikannya sebagai ajang berjuta kebaikan? Bukankah Allah senantiasa memberikan yang terbaik untuk kita?

Lantas, apakah ujian futur ini masih akan kita lewati dengan sebuah keluhan atau sebuah kesabaran yang digenapkan dengan kesyukuran?

Bahan muhasabah diri, ketika ke-futur-an itu datang

Bumi Allah, 11 April 2013, 19.57

Invea Nur Mukti Lestari

Oh ya, sekedar tambahan untuk sahabat, jika kita tengah dijauhkan dari kondisi futur, jangan hanya menikmati manisnya iman itu sendirian, sahabat! Lihatlah ke sekitar kita! Tengoklah saudara-saudara kita! Segera sapa mereka dan tanyakan kabar imannya, mungkin saja di balik senyuman manisnya tersimpan sebuah ujian ke-futur-an. Sebab mungkin di balik ketenangannya, tersembunyi jeritan hati meminta uluran tangan kita untuk membantu mereka melewati ujian ke-futur-an dengan kesabaran dan kesyukuran.

Jangan sampai kita terlalu sibuk dengan dunia kita sendiri, sampai-sampai kita membutakan mata hati dari mereka, dan hanya duduk diam, menanti mereka datang seraya berkata,”Sahabat, apa kau punya kata-kata renungan atau motivasi? Saya sedang futur,”

Jazakallahu khairan katsira untuk teh shela suzune, syukron teh udah nemenin vea ngerenung lewat sms waktu itu, juga untuk Jodi, syukron untuk sms yang meminta renungan/motivasi, vea jadi merasa tertegur karena terlalu fokus pada diri sendiri 😀