Ukhuwah. Begitu banyak orang membicarakan keindahannya. Salah satu karunia yang telah Allah berikan bagi umat manusia. Salah satu anugerah yang harganya jauh lebih mahal dari infak seluruh perbendaharaan yang ada di bumi, sebagaimana yang telah Allah cantumkan dalam firman-Nya,”Dan Dia (Allah) yang mempersatukan hati mereka (orang yang beriman). Walaupun kamu menginfakkan semua (kekayaan) yang berada di bumi, nisyaca kamu tidak dapat mempersekutukan hati mereka, tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sungguh, Dia Mahaperkasa, Mahabijaksana.” [Q.S.Al-Anfal: 63]
Ukhuwah. Mendengar kata tersebut, teringatkah dalam kepala sahabat awal-awal menjalin ukhuwah dengan teman seperjuangan sahabat? Terlintaskah bayangan saat sahabat pertama kali bertemu dengan teman seperjuangan sahabat? Terbayangkah masa-masa di mana sahabat dengan canggung memulai sebuah percakapan kecil yang berakhir dengan perkenalan dan teman seperjuangan yang baru? Ingatkah?
Betapa indahnya saat awal-awal kita menjalin ukhuwah dengan seorang teman seperjuangan yang baru. Awal-awal mengenalnya kita merasakan begitu banyak persamaan. Awal-awal mengenalnya kita saling berbagi semangat dakwah yang tinggi.
Namun, sadarkah sahabat, hakikatnya temen seperjuanganmu itu adalah amanah yang telah Allah beri padamu?
Ya, dia adalah amanah yang harus kau jaga. Pada dirinya terdapat hak-hak yang harus kita tunaikan. Mengingatkannya, mengajaknya bersama-sama menuju kebaikan, menjenguknya ketika sakit, mencintainya sebagaimana kita mencintai diri kita sendiri, dan begitu banyak hak-hak lainnya yang harus kita penuhi. Pada dirinya terdapat juga cermin untukmu berkaca, sebagaimana yang telah Rasulullah sampaikan,”Mukmin yang satu adalah cermin bagi mukmin yang lain,”
Maka, pekerjaan seorang muslim kepada sesama tak hanya sekedar memperoleh ukhuwah. Pekerjaan seorang muslim kepada sesama tak hanya sekedar melebarkan jaringan tuk mendapatkan koneksi. Pekerjaan seorang muslim kepada sesama tak hanya sekedar itu. Ada pekerjaan lebih di balik itu. Ada amanah lebih di balik setiap perkenalan.
Menjaga, tak sekedar memperoleh.
Saat kita baru menjalin tali persaudaraan dengan seseorang, maka tugas kita berikutnya adalah menjaga ukhuwah tersebut. Saat kita baru memulai perkenalan dengan seseorang, maka tugas kita berikutnya adalah menjaga ukhuwah tersebut. Saat kita mendapatkan teman seperjuangan yang baru, maka tugas kita berikutnya adalah menjaga ukhuwah tersebut.
Menjaga ukhuwah tentu tak semudah yang kita bayangkan. Menjaga ukhuwah tentu akan jauh lebih sulit dibandingkan saat kita mengawali menjalin ukhuwah. Sebab dalam lika-liku ukhuwah, kau akan mendapati perbedaan. Sebab dalam lika-liku ukhuwah, kau akan mendapati goncangan. Sebab dalam lika-liku ukhuwah, kau akan mendapati ujian.
Ukhuwah itu ibarat sebuah kepercayaan. Kepercayaan mungkin pada awalnya begitu mudah didapatkan, namun dibutuhkan usaha lebih untuk menjaganya. Sahabat saya pernah berkata,”Kepercayaan itu ibarat kertas, sekali kita remas ia tak akan kembali sempurna. Sekali kita berkhianat, akan sulit untuk memperoleh kepercayaan kembali seperti semula,” [Seorang sahabat berinisal RA]. Pun jua dengan ukhuwah, jika kita merusaknya, tentu akan sulit bagi kita untuk menjalin kembali ukhuwah tersebut.
Oleh sebab itu, penting kiranya bagi kita untuk menjaga ukhuwah. Agar tali persaudaraan itu semakin kokoh. Agar cahaya permatanya semakin berkilau. Agar setiap pertemuannya semakin barakah. Pun jua agar ukhuwah kita seperti yang dilukiskan dalam hadits Rasulullah,” Allah mempunyai hamba-hamba yang bukan nabi dan bukan syuhada, tapi para nabi dan syuhada tertarik oleh kedudukan mereka di sisi Allah.”
Para sahabat lantas bertanya, “Wahai Rasulullah, siapa mereka dan bagaimana amal mereka? Semoga saja kami bisa mencintai mereka.”
Rasulullah saw. pun bersabda, “Mereka adalah suatu kaum yang saling mencintai dengan karunia dari Allah. Mereka tidak memiliki hubungan nasab (kekeluargaan) dan tidak memiliki harta yang mereka kelola bersama.
Demi Allah keberadaan mereka adalah cahaya dan mereka kelak akan ada di atas mimbar-mimbar dari cahaya. Mereka tidak merasa takut ketika banyak manusia merasa takut. Mereka tidak bersedih ketika banyak manusia bersedih.”
Kemudian Rasulullah saw. membacakan firman Allah:“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”. (Q.S. Yunus [10]: 62).
Alangkah rindunya kita untuk memperoleh semua itu. Betapa tentu kita mengharapkan untuk dapat kembali berkumpul bersama dengan semua teman seperjuangan kita di surga-Nya kelak. Semoga Allah menjadikan kita salah satu dari kaum yang telah digambarkan Rasulullah dalam haditsnya tersebut. Aamiin..
Bahan muhasabah untuk diri ini yang berkali-kali merusak ukhuwah suci. Maafkan diri ini yang seringkali mengecewakanmu, sahabat.
Bumi Allah, 14 Mei 2013, 19.47
Invea Nur Mukti Lestari
Tambahan ^^v
Namun, bagaimanakah jika tanpa sengaja kita telah merusak ukhuwah yang telah terjalin?
Maka yang perlu kita lakukan adalah berikhtiar dengan cara meminta maaf. Menurut Salim A Fillah, dalam ukhuwah terdapat sekeping mata uang yang paling mahal, di satu sisi ia bertuliskan,”Akuilah kesalahanmu,” dan di sisi lain terukir sebuah kalimat,”Maafkanlah saudaramu yang bersalah,”
Lalu, bagaimana jika sahabat kita tidak mau memaafkan kita dan justru malah menjauhi kita?
Bersabarlah, sahabat. Jika ikhtiar meminta maaf telah kau lakukan, berusaha menjalin kembali ukhuwah telah kau laksanakan, serta menyambung tali silaturahmi telah kau usahakan, namun ternyata ia tetap tak bergeming dan tetap tidak memaafkan kita, maka berdo’alah pada Allah. Mintalah pada-Nya untuk melembutkan hati sahabat kita agar ia mau memaafkan kita. Sesungguhnya, mudah bagi Allah untuk membolak-balikkan hati manusia. Di samping itu, marilah kita evaluasi diri kita. Mungkin saja usaha kita masih kurang cukup, mungkin saja dosa-dosa kita membuat benteng hijab terkabulnya do’a dari Allah, teruslah bermuhasabah dan berhusnudzonlah pada Allah. Dan tak lupa, tetaplah mendo’akan yang terbaik untuk sahabat kita sekalipun ia tak mengetahuinya, atau sekalipun ia menjauhi kita.
Dan di akhir, izinkan saya tutup notes kali ini dengan sebait mutiara yang tercantum dalam buku Dalam Dekapan Ukhuwah karya Salim A Fillah,
“Karena saat ikatan melemah,
Saat keakraban kita merapuh,
Saat salam terasa menyakitkan,
Saat kebersamaan serasa siksaan,
Saat pemberian bagai bara api,
Saat kebaikan justru melukai,
Aku tahu,
Yang rombeng bukan ukhuwah kita,
Hanya iman-iman kita,
Yang sedang sakit, atau mengerdil,
Mungkin dua-duanya,
Mungkin kau saja,
Tentu terlebih sering,
Imankulah yang compang-camping,”
Selamat menjalin ukhuwah, bersama menuju jannah-Nya!