Untuk Sebuah Mentoring

Mentoring, mungkin itu bukanlah kata asing bagi seseorang yang mengikuti kegiatan LDS/LDK di lingkungannya. Sebuah lingkaran yang senantiasa hadir dijadwalkan seminggu sekali. Sebuah perkumpulan di mana tiada akan kecewa siapa pun yang duduk membersamainya. Sebuah pertemuan di mana ketenangan turun kepada mereka, rahmat meliputi majelisnya, malaikat menaungi mereka dan Allah menyebut-nyebut mereka dengan bangga di depan malaikat-malaikat yang ada di sisiNya.

Mentoring, alangkah indahnya kegiatan tarbiyah ini. Di mana ayat-ayat suci dilantunkan. Hafalan-hafalan Qur’an dan hadits di setorkan. Serta ilmu ditambahkan. Dalam perkumpulan inilah silaturahmi senantiasa dikencangkan. Satu sama lain saling berbagi. Satu sama lain saling memberi. Satu sama lain saling memotivasi.

Mentoring, saking menawannya kegiatan ini, dapat kita lihat betapa orang-orang di luar sana banyak berkorban untuk meraihnya. Lihatlah, di luar sana masih ada sekelompok rohis yang pontang-panting mencari murabbi untuk dapat membimbing mereka. Lihat, di luar sana masih ada yang terseok-seok menghadapi perjalanan berpuluh kilometer hanya untuk dapat menghadiri mentoring sekalipun hanya sekedar mendengar do’a rabithah sebagai penutup.

Maka, mengapa kita masih bermalas-malasan menghadiri perkumpulan itu? Mengapa kita masih sulit meluangkan waktu dua jam untuk mentoring dari 168 jam yang telah Allah berikan dalam seminggu untuk kita? Bukankah jika begitu sama saja dengan kita mengkufuri nikmat yang telah Allah berikan pada kita?

Sahabat, mentoring mungkin bukan segala-galanya, tapi bukankah segala-galanya bermula dari mentoring? Bukankah sahabat sering mendengar itu dalam versi yang lain? Ya, tarbiyah memang bukan segala-galanya, tapi bukankah segala-galanya bermula dari tarbiyah?

Lantas, saat kita hendak izin untuk tidak menghadiri suatu khalaqah, cobalah kita pikirkan saudara-saudara muslim di luar sana yang harus berkorban begitu dalam untuk dapat menghadiri liqo. Dapatkah sahabat bayangkan, anak-anak palestina yang tetap berjalan teguh menghadiri liqo sekalipun di sepanjang perjalanan peluru dan senjata zionis senantiasa menghampiri mereka? Dapatkah sahabat bayangkan anak-anak palestina yang bahkan harus menelan kertas berisikan ayat yang harus mereka hafal agar tidak dibunuh oleh musuh Allah? Jika mereka saja yang terancam meregang nyawa untuk menghadiri suatu khalaqah tetap penuh semangat menghadiri liqo, mengapa kita yang sudah terfasilitasi begitu berleha-leha dan bermalas-malasan menghadiri liqo? Bukankah itu berarti kita telah mengkufuri nikmat-Nya?

Pernahkah sahabat bayangkan perasaan murabbi/murabbiyah sahabat yang telah susah payah meluangkan waktu dari segala kesibukannya, menyisihkan uang untuk membeli makanan ringan untuk mad’unya, serta berlelah-lelah menaiki kendaraan hanya untuk sekedar membimbing sahabat? Lantas, kita yang cukup duduk manis mendengarkan, mengapa masih malas datang?

Ingat sahabat, sekali kita meninggalkan dakwah, kali berikutnya, dakwahlah yang akan meninggalkan kita. Karena jika dakwah tidak bersama kita, ia bisa bersama orang lain, namun jika tidak bersama dakwah, kita akan bersama siapa?

Terakhir, kutuliskan ini teruntuk mereka, para murabbi/murabbiyah, jangan sampai langkah perjuangan kalian terhenti hanya karena mad’u yang menghadiri mentoring sangatlah sedikit. Sebab yang Allah lihat, bukanlah sekedar seberapa banyak orang yang telah kalian bimbing tapi yang Allah nilai adalah proses kalian membimbing mereka. Kita tidak pernah tahu rencana Allah, siapa tahu Allah tengah menguji keikhlasan kalian dalam menapaki dakwahnya. Mungkin saja, Allah hanya ingin memastikan bahwa setiap pengorbanan yang kalian lakukan memang semata-mata diniatkan karena-Nya.

 

Afwan jika banyak kekurangan serta istilah yang tidak seharusnya ditulis. Afwan pula jika dalam tulisan kali ini vea terlalu terbawa emosi. Kritik dan saran serta sharing pengalaman dinantikan di kotak komentar. Jadzakallah khairan katsira.

 

Bahan muhasabah diri yang seringkali mengkufuri nikmat-Nya,

Bumi Allah, 1 Juni 2013, 08.39

 

Invea Nur Mukti Lestari