Entahlah, Aku Tak Pernah Mengerti

Entahlah,

Aku tak akan pernah bisa mengerti,

Mau dibawa ke mana negeri ini nanti?

Jika semua orang masih sibuk memikirkan dirinya sendiri.

Jika semua manusia tak punya rasa peduli lagi.

 

Entahlah,

Aku tak pernah bisa mengerti,

Mau dibawa ke mana negeri kita ini?

Jika pendidikan hanya mampu meluluskan tak bermoral.

Jika kejujuran tak lagi menjadi panutan.

 

Entahlah,

Aku tak pernah bisa mengerti,

Mau dibawa ke mana negeri kita ini?

Jika kebebasan tak pernah dipertanggungjawabkan.

Jika kekerasan menjadi kebiasaan.

 

Mau jadi seperti apa negeri kita nanti?

Mau jadi seperti apa?

Jika kau penerus bangsa masih saja seperti ini!

———————————————————————————–

Ya, terkadang diri ini bingung memikirkan nasib negeri ini. Miris rasanya melihat tingkah laku generasi muda yang jauh dari kata baikHendak dibawa ke manakah negeri kita ini?

Kini semua sudah terbalik. Dulu, orang yang berbuat salah yang dikucilkan. Kini, orang yang berbuat benar yang dikucilkan. Tak perlulah jauh-jauh melihat. Contohnya ada di sekitar kita. Mereka, para remaja, tentu sangat merasakan bahwa ketidakjujuran adalah sebuah kebiasaan. Dan orang-orang yang kukuh dalam pendiriannya untuk jujur justru dikucilkan.

Padahal, kelemahan moral itu menunjukkan kelemahan iman. Jika sudah seperti ini, akan jadi seperti apa negeri kita nanti?

 

Bahan muhasabah diri, semoga kita semua termasuk orang-orang yang Allah kuatkan pendiriannya dalam meniti kebenaran…

Teruntuk mereka, Sang Penghuni Sepi, semoga Allah meridhai…

Bumi Allah, 14 November 2012, 22.15

Invea Nur Mukti Lestari

Rohis, Penerang Kegelapan Zaman

Semua bermula dari hari itu, tatkala butir-butir kasih sayang-Nya turun mengalir membasahi tandusnya tanah kehidupan. Aku mengeluh kesal. Kenapa hujan harus turun di saat aku hendak pulang? Akhirnya, karena tak ingin mengambil resiko sakit demam—apalagi sebentar lagi musim ujian—akupun memutuskan untuk berteduh di salah satu teras bangunan yang jarang sekali aku kunjungi selain di waktu pelajaran agama. Ya, tempat itu adalah mesjid An-Nur, mesjid tercinta di sekolahku.

Aku menggosok-gosokkan kedua tanganku pada bahuku, berharap hawa dingin yang kurasakan akan menguap. Baju seragam putih abuku sedikit basah terkena air hujan. Mata cokelatku menatap ujung langit yang kelabu, sama sekali tak menampakkan tanda-tanda berhenti. Malah suara guntur bersahut-sahutan dengan suara rintikan hujan yang saling berlomba mencapai tanah.

Pluk! Seseorang menepuk pundakku. Dengan segera aku membalikkan tubuhku. Seorang pemuda berwajah teduh tersenyum padaku. Aku mengenal pemuda itu. Dia adalah Muhammad Faqih, siswa teladan di angkatanku.

“Kau membuatku terkejut,” sahutku. Pemuda itu tersenyum lembut.

“Hehe, afwan deh,Rifqie. Kau sudah shalat Dzuhur?” tanyanya ramah. Aku menggeleng pelan.

“Bagaimana kalau kita shalat Dzuhur bersama? Sudah pukul 1,” ajaknya. Sejujurnya aku ingin menolaknya. Patut kalian tahu, saat itu aku adalah seorang pelajar yang tak acuh pada agama. Namun, karena merasa gengsi, akhirnya aku mengiyakan juga ajakannya.

Kami kemudian melepaskan sepatu dan lantas mengambil air wudhu. Setelah itu, kami kemudian menuju lantai kedua untuk mengerjakan shalat. Mesjid An-Nur memang terdiri dari dua tingkat. Lantai pertama merupakan khusus kamar mandi dan tempat wudhu serta penitipan sepatu. Sementara lantai kedua barulah terdapat ruangan untuk kami shalat. Mesjid ini memang cukuplah luas. Besar ruangannya setara dengan aula di sekolah kami.

Assalammu’alaikum, akhi,” sapa Faqih kepada sekumpulan siswa yang tengah duduk di bagian pojok masjid bagian ikhwan. Para siswa tersebut kemudian memandang ke arah Faqih. Tatapan hangat terpancar dari wajah-wajah mereka. Mereka kemudian membalas sapaan Faqih.

Wa’alaikummussalam, akhi,”

Afwan, ana agak telat. Sekarang ana mau shalat Dzuhur dulu,” ujar Faqih.

“Tidak masalah kok, akh. Kita juga baru pada kumpul kok,” gumam mereka. Faqih kemudian tersenyum kepada mereka. Ia lalu memberi isyarat padaku untuk menuju shaf depan.

“Mau jadi imam?” tawar Faqih. Aku sontak menggeleng cepat. Pemuda itupun tersenyum ringan. Ia kemudian mengambil posisi di sebelah kiriku dan lantas sedikit maju kira-kira sejengkal-dua jengkal dari tempatku berdiri. Dan setelah itu, kamipun hanyut dalam ibadah kami—atau mungkin hanya dia yang tenggelam dalam ibadahnya karena saat itu aku sama sekali tak berkonsentrasi menjalankan ibadahku.

Selesai mengerjakan shalat Dzuhur, Faqih menggenggam erat tanganku dan lantas menyalamiku dengan hangat. Ia tersenyum padaku sesaat sebelum kembali lagi hanyut dalam buaian cinta Ilahi.

Aku menatap keluar jendela. Hujan semakin deras. Petir menyambar kasar. Dan hembusan angin kini semakin bernafsu. Akupun kemudian memutuskan untuk menanti hujan reda. Sesekali ku lihat Faqih yang semakin tenggelam dalam do’a khusyuknya. Sempat ku lihat air mata mengalir membasahi pipinya dan bibirnya melantunkan banyak sekali do’a dengan bahasa Arab yang sama sekali tidak kupahami.

Setelah selesai mengadu pada sang Rabbi, Faqih kemudian terlihat hendak menghampiri kerumunan siswa tadi. Namun, saat ia hendak beranjak dari tempat duduknya, matanya menatap penuh makna ke arahku.

“Kau mau ikut, qie?” ajaknya. Aku menatap wajah pemuda berjenggot tipis itu dengan penuh keheranan.

“Ke mana?” tanyaku kikuk—tak mengerti arah pembicaraannya.

Mentoring di sana, bareng sama anak-anak rohis,” jawab Faqih seraya memberi isyarat pada kumpulan ikhwan yang sedari tadi menantinya. Ku tatap lingkaran itu. Mereka masing-masing tenggelam dalam kesibukannya. Ada yang tengah membaca Al-Qur’an, ada yang sedang murojaah, ada pula yang tengah menghafalkan hadits, pun tak ketinggalan yang tengah serius menekuni buku-buku tafsir. Dan entah kenapa baru saat itulah aku tersadar kalau pemuda di sampingkun ini adalah seorang ketua rohis di sekolahku. Oh, bodohnya aku!

“Emang ngapain aja?” tanyaku kurang tertarik. Memang, aku adalah seorang remaja yang tak jauh berbeda dari kebanyakan kala itu, meninggalkan kewajiban Islam dan mementingkan kepentingan pribadi.

“Rame kok. Yu, ikutan,” ajaknya gigih. Aku berpikir sejenak. Mungkin ngga masalah juga kali ya daripada ngelamun sendirian menanti redanya hujan. Akhirnya dengan sedikit malas, akupun mengikuti usulan Faqih dan ikut bergabung dalam lingkaran mentoring rohis di hari itu.

Awalnya, aku tidak terlalu memperhatikan kegiatan mentoring tersebut sampai tibalah saat materi. Yang memberikan materi saat itu adalah Faqih, sang ketua rohis. Dia lalu membahas mengenai masalah syahadat dan—

Deg!

—disitulah aku merasa tertegur. Hatiku bergetar mendengar setiap lantunan kata yang keluar dari mulutnya. Kata-katanya mungkin sederhana, namun penuh dengan jutaan makna. Setiap penuturannya begitu menusuk, menelesak ke dasar hatiku. Memberikan cambuk tersendiri untukku. Dan air mataku meleleh. Sungguh, belum pernah aku merasa seberdosa itu. Dan saat kusampaikan rasa itu pada Faqih, dengan lembut dia berkata,”Mohon ampunlah kepada Allah. Sesungguhnya, Allah mencintai hamba-Nya yang bertaubat,”

Dan sejak saat itulah, aku tak pernah absen dari kegiatan rohis. Ya, rohis telah mengubah hidupku yang kelam kelabu. Lingkaran itu, lingkaran rohis itu adalah lingkaran cahaya yang menerangi kegelapan zaman. Dan di dalam lingkaran itu, dapat kau temukan manisnya syurga duniawi.

 

Bumi Allah,

Invea Nur Mukti Lestari

Sakit, Nikmat yang Jarang Disyukuri

Siapa sih di antara kita yang belum pernah merasakan sakit? Setidak-tidaknya kita semua pasti pernah merasakan sakit walaupun itu hanya sekali ataupun sekadar sakit karena jatuh atau pilek. Lantas, apa sih yang biasanya terlintas di benak sahabat saat rasa sakit itu datang? Nyebelin? Males ngapa-ngapain? Pingin nangis?

Rata-rata dari kita ketika sakit memilih untuk tidur-tiduran, istirahat dan bermalas-malasan (atau ada yang memilih bermanja-manjaan pada orang tuanya? ^^v). Tak jarang lantunan do’a syafakallah ataupun nasihat sabar ya kita terima dari sahabat-sahabat kita.

Saat rasa sakit itu datang, saya mencoba mengambil pelajaran dari sisi yang lain.

Kita terkadang berpikir bahwa rasa sakit itu adalah suatu ujian dari Allah yang harus dilewati dengan penuh kesabaran. Karena kita yakin bahwa dari bulir-bulir kesabaran itu akan mendatangkan kebaikan.

Tapi, saya mencoba mengambil pelajaran dari sisi yang lain.

Kita terkadang mampu melewati ujian rasa sakit itu dengan kesabaran, tapi pernahkah kita terpikir untuk menggenapkan kebaikannya itu dengan kesyukuran? Sahabat, coba tanya pada diri sahabat sendiri, pernahkah sahabat mensyukuri ujian sakit yang Allah berikan pada kita?

Mungkin kita semua jarang mensyukuri ujian sakit itu karena kita selalu berpikir bahwa rasa syukur itu tumbuh hanya saat kita mendapat nikmat saja. Tapi, tahukah sahabat bahwa dalam ujian sakit pun terdapat jutaan nikmat di sana?

Pernahkah sahabat mendengar hadits yang mengatakan bahwa rasa sakit itu dapat menggugurkan dosa? Pernahkah sahabat merasa bahwa dengan rasa sakit itu sahabat bisa menjadi lebih dekat pada Allah? Ataukah pernahkah terpikir bahwa perjuangan kita saat sakit melakukan dakwah itu memiliki kebaikan lebih dibandingkan dengan perjuangan kita saat kita sehat?

Sahabat, di sebalik rasa sakit yang sahabat rasakan, ada beragam kebaikan dan nikmat yang bisa sahabat rasakan. Lantas, apa yang membuat kita merasa tak perlu mensyukuri rasa sakit itu?

Yu ah sekarang mah kita genapkan kebaikan kita di kala sakit dengan sabar dan syukur! ^^9

Bahan muhasabah diri saat rasa sakit itu datang, Alhamdulillah :’)

Bumi Allah, 11 November 2012, 09.30

Invea Nur Mukti Lestari

Selamat Datang di Zaman Kegelapan

Selamat datang di zaman kegelapan! Zaman di mana ketaqwaantak lagi diperdulikan. Zaman di mana kekerasan bukan lagi sebuah keanehan. Zaman di mana individualis yang diutamakan. Zaman di mana hawa nafsu diper-Tuhan-kan. Zaman di mana kebebasan disebar luaskan.

Anda senang berbohong? Menipu? Mencontek? Memfitnah? Korupsi? Jangan khawatir! Di zaman ini Anda bisa melakukan semua itu tanpa takut ketahuan! Toh orang-orang hanya bisa mempermasalahkan dan tak pernah bisa menyelesaikan karena semua kejadian dapat ditutup dengan uang.

Anda senang mengghibah? Tidak perlu khawatir. Di zaman ini gosip senantiasa merajalela. Anda dapat menyaksikannya di mana-mana. Di televisi, internet, jejaring sosial, semua telah dipermudah di zaman ini.

Anda senang kekerasan? Jangan takut! Di zaman ini banyak pemuda dan mahasiswa menjalankan aksi tawuran. Perkelahian bukan lagi sebuah keanehan. Lempar batu sudah bukan lagi sebuah kejanggalan.

Anda senang memperlihatkan aurat? Tidak perlu takut. Di zaman ini tersedia banyak pakaian dengan model yang terbuka. Anda bisa dengan bebas memamerkan lekukan tubuh manapun yang Anda suka.

Selamat bersenang-senang di zaman kegelapan! Zaman di mana perbuatan dosa bisa dilakukan tanpa secuil rasa ketakutan. Zaman di mana manusia tidak merasa diawasi Tuhan. Anda benar-benar beruntung telah sampai di zaman kegelapan. Sekali lagi, selamat datang!

———————————————————————————————————————————————————————

Sekilas perkataan di atas terkesan nyeleneh, namun sadar tak sadar memang seperti itulah yang terjadi sekarang. Sahabat, sadarlah! Saat ini kita tengah berada di zaman kegelapan! Zaman di mana perbuatan dosa tidak lagi dianggap keanehan. Zaman di mana dosa dianggap sebagai suatu keharusan. Sadarlah!

Anda benar-benar beruntung telah sampai di zaman kegelapan. Beruntung? Sahabat, buka mata sahabat! Kita berada di dalam sebuah goncangan zaman. Buka mata, sahabat!

Apakah sahabat menyadari ujian yang harus sahabat tempuh di zaman ini? Ya, sahabat sudah menyadari beratnya beban kita tinggal di zaman seperti ini?

Benar, sahabat. Godaan itu begitu kuat. Bisikan syaithan begitu membuaikan. Pernahkah sahabat sadari, di saat sahabat bertekad melakukan kebaikan, orang-orang di luar sana menggunjingkan? Orang-orang di luar sana menjauhi sahabat? Mereka menganggap sahabat lebay? Mereka menganggap sahabat kuno? Mereka menganggap sahabat ngga modern? Mereka menganggap sahabat aneh? Hingga tanpa sadar hal itu menyurutkan niat sahabat untuk menjalankan tekad tersebut. Pernahkah seperti itu sahabat?

Oke, mungkin sahabat kuat, tapi lihatlah mereka, sahabat! Lihatlah teman seperjuanganmu! Sebagian dari mereka ada yang tertekan, sebagian dari mereka ada yang mengurungkan niatnya melakukan kebaikan, sebagian dari mereka masih ketakutan untuk melakukan.

Rangkulah sahabat, mereka membutuhkan bantuanmu! Rangkulah sahabat, mereka membutuhkan keberanian! Rangkulah sahabat, mereka membutuhkan teman!

Ukhuwah.

Sebuah ikatan manis yang menghangatkan. Sebuah ikatan teduh yang menentramkan. Sebuah ikatan perdu yang melembutkan. Sebuah ikatan rantai yang menguatkan.

Ya, sahabat. Ukhuwah hanyalah satu dari sekian banyaknya jalan untuk melewati semua halang rintang zaman ini. Ukhuwah adalah satu dari sekian banyak cara untuk menapaki jalan perjuangan dengan lebih menyenangkan.

Dengan ukhuwah, seseorang bisa menemukan hangatnya keluarga. Dengan ukhuwah, seseorang bisa merasakan canda tawa seperti bersama seorang adik. Dengan ukhuwah, seseorang bisa merasakan damainya curhat seperti bersama seorang kakak. Dengan ukhuwah, seseorang bisa merasakan ketegaran seperti yang diberikan seorang ayah. Dengan ukhuwah seseorang bisa merasakan kasih sayang seperti yang diberikan ibu.

Sahabat tahu, saat kita sibuk dengan dunia kita sendiri, saat kita acuh tak acuh terhadap saudara-saudara kita, saat kita sibuk berhujah merasa yang paling benar, orang-orang kafir di luar sana mentertawakan kita!

Sahabat tahu, saat kita tak peduli pada saudara-saudara kita, saat kita tak merangkul mereka yang telah terjerat dalam tipuan dosa, saat kita jijik untuk sekedar mengulurkan tangan kita bagi mereka, orang-orang kafir di luar sana memberikan applause yang luar biasa untuk kita!

Ke mana islam rahmatan lil alamin yang diajarkan Rasulullah? Kau bawa ke mana itu, umat muslim? Ke mana?

Ukhuwah.

Ada kalanya seseorang menunda amal baiknya hanya karena merasa sendirian. Ia membutuhkanmu sahabat. Ia membutuhkan seorang teman. Ia membutuhkan sebuah rangkulan. Ia membutuhkan sebuah uluran tangan.

Genggamlah jemari tangannya sahabat, berilah sebuah keberanian untuknya. Buktikan pada dunia indahnya persaudaraan islam! Agar tak ada lagi orang muslim yang tertindas zaman.

Anda benar-benar beruntung telah sampai di zaman ini. Ya, sahabat, kita beruntung! Di zaman yang penuh dengan kebejatan ini, kita memiliki lebih banyak lahan untuk membuktikan cinta kita pada-Nya!

Teruntuk mereka yang membutuhkan sebuah kawan yang bisa menguatkan perjuangan, jangan bersedih, Allah bersamamu…

 

Bahan muhasabah untuk diri ini yang masih sering memikirkan kepentingan pribadi dibanding kepentingan ukhrawi.

Bumi Allah, 18 Oktober 2012, 05.03

Invea Nur Mukti Lestari

Assalammualaikum wr.wb.

Assalammualaikum wr. wb. sahabat,

Izinkanlah saya, ummu syauqi, untuk turut menggoreskan sepercik tinta hati di web ini 😉

Dan adapun setiap kesalahan dari penulisan, ummu mengharapkan apresiasi kalian dalam memberikan komentar agar kumpulan catatan hikmah ini menjadi jauh lebih baik dan bermanfaat untuk umat.

Jadzakallah khoir,

Wassalammualaikum wr. wb.