Rohis, Penerang Kegelapan Zaman

Semua bermula dari hari itu, tatkala butir-butir kasih sayang-Nya turun mengalir membasahi tandusnya tanah kehidupan. Aku mengeluh kesal. Kenapa hujan harus turun di saat aku hendak pulang? Akhirnya, karena tak ingin mengambil resiko sakit demam—apalagi sebentar lagi musim ujian—akupun memutuskan untuk berteduh di salah satu teras bangunan yang jarang sekali aku kunjungi selain di waktu pelajaran agama. Ya, tempat itu adalah mesjid An-Nur, mesjid tercinta di sekolahku.

Aku menggosok-gosokkan kedua tanganku pada bahuku, berharap hawa dingin yang kurasakan akan menguap. Baju seragam putih abuku sedikit basah terkena air hujan. Mata cokelatku menatap ujung langit yang kelabu, sama sekali tak menampakkan tanda-tanda berhenti. Malah suara guntur bersahut-sahutan dengan suara rintikan hujan yang saling berlomba mencapai tanah.

Pluk! Seseorang menepuk pundakku. Dengan segera aku membalikkan tubuhku. Seorang pemuda berwajah teduh tersenyum padaku. Aku mengenal pemuda itu. Dia adalah Muhammad Faqih, siswa teladan di angkatanku.

“Kau membuatku terkejut,” sahutku. Pemuda itu tersenyum lembut.

“Hehe, afwan deh,Rifqie. Kau sudah shalat Dzuhur?” tanyanya ramah. Aku menggeleng pelan.

“Bagaimana kalau kita shalat Dzuhur bersama? Sudah pukul 1,” ajaknya. Sejujurnya aku ingin menolaknya. Patut kalian tahu, saat itu aku adalah seorang pelajar yang tak acuh pada agama. Namun, karena merasa gengsi, akhirnya aku mengiyakan juga ajakannya.

Kami kemudian melepaskan sepatu dan lantas mengambil air wudhu. Setelah itu, kami kemudian menuju lantai kedua untuk mengerjakan shalat. Mesjid An-Nur memang terdiri dari dua tingkat. Lantai pertama merupakan khusus kamar mandi dan tempat wudhu serta penitipan sepatu. Sementara lantai kedua barulah terdapat ruangan untuk kami shalat. Mesjid ini memang cukuplah luas. Besar ruangannya setara dengan aula di sekolah kami.

Assalammu’alaikum, akhi,” sapa Faqih kepada sekumpulan siswa yang tengah duduk di bagian pojok masjid bagian ikhwan. Para siswa tersebut kemudian memandang ke arah Faqih. Tatapan hangat terpancar dari wajah-wajah mereka. Mereka kemudian membalas sapaan Faqih.

Wa’alaikummussalam, akhi,”

Afwan, ana agak telat. Sekarang ana mau shalat Dzuhur dulu,” ujar Faqih.

“Tidak masalah kok, akh. Kita juga baru pada kumpul kok,” gumam mereka. Faqih kemudian tersenyum kepada mereka. Ia lalu memberi isyarat padaku untuk menuju shaf depan.

“Mau jadi imam?” tawar Faqih. Aku sontak menggeleng cepat. Pemuda itupun tersenyum ringan. Ia kemudian mengambil posisi di sebelah kiriku dan lantas sedikit maju kira-kira sejengkal-dua jengkal dari tempatku berdiri. Dan setelah itu, kamipun hanyut dalam ibadah kami—atau mungkin hanya dia yang tenggelam dalam ibadahnya karena saat itu aku sama sekali tak berkonsentrasi menjalankan ibadahku.

Selesai mengerjakan shalat Dzuhur, Faqih menggenggam erat tanganku dan lantas menyalamiku dengan hangat. Ia tersenyum padaku sesaat sebelum kembali lagi hanyut dalam buaian cinta Ilahi.

Aku menatap keluar jendela. Hujan semakin deras. Petir menyambar kasar. Dan hembusan angin kini semakin bernafsu. Akupun kemudian memutuskan untuk menanti hujan reda. Sesekali ku lihat Faqih yang semakin tenggelam dalam do’a khusyuknya. Sempat ku lihat air mata mengalir membasahi pipinya dan bibirnya melantunkan banyak sekali do’a dengan bahasa Arab yang sama sekali tidak kupahami.

Setelah selesai mengadu pada sang Rabbi, Faqih kemudian terlihat hendak menghampiri kerumunan siswa tadi. Namun, saat ia hendak beranjak dari tempat duduknya, matanya menatap penuh makna ke arahku.

“Kau mau ikut, qie?” ajaknya. Aku menatap wajah pemuda berjenggot tipis itu dengan penuh keheranan.

“Ke mana?” tanyaku kikuk—tak mengerti arah pembicaraannya.

Mentoring di sana, bareng sama anak-anak rohis,” jawab Faqih seraya memberi isyarat pada kumpulan ikhwan yang sedari tadi menantinya. Ku tatap lingkaran itu. Mereka masing-masing tenggelam dalam kesibukannya. Ada yang tengah membaca Al-Qur’an, ada yang sedang murojaah, ada pula yang tengah menghafalkan hadits, pun tak ketinggalan yang tengah serius menekuni buku-buku tafsir. Dan entah kenapa baru saat itulah aku tersadar kalau pemuda di sampingkun ini adalah seorang ketua rohis di sekolahku. Oh, bodohnya aku!

“Emang ngapain aja?” tanyaku kurang tertarik. Memang, aku adalah seorang remaja yang tak jauh berbeda dari kebanyakan kala itu, meninggalkan kewajiban Islam dan mementingkan kepentingan pribadi.

“Rame kok. Yu, ikutan,” ajaknya gigih. Aku berpikir sejenak. Mungkin ngga masalah juga kali ya daripada ngelamun sendirian menanti redanya hujan. Akhirnya dengan sedikit malas, akupun mengikuti usulan Faqih dan ikut bergabung dalam lingkaran mentoring rohis di hari itu.

Awalnya, aku tidak terlalu memperhatikan kegiatan mentoring tersebut sampai tibalah saat materi. Yang memberikan materi saat itu adalah Faqih, sang ketua rohis. Dia lalu membahas mengenai masalah syahadat dan—

Deg!

—disitulah aku merasa tertegur. Hatiku bergetar mendengar setiap lantunan kata yang keluar dari mulutnya. Kata-katanya mungkin sederhana, namun penuh dengan jutaan makna. Setiap penuturannya begitu menusuk, menelesak ke dasar hatiku. Memberikan cambuk tersendiri untukku. Dan air mataku meleleh. Sungguh, belum pernah aku merasa seberdosa itu. Dan saat kusampaikan rasa itu pada Faqih, dengan lembut dia berkata,”Mohon ampunlah kepada Allah. Sesungguhnya, Allah mencintai hamba-Nya yang bertaubat,”

Dan sejak saat itulah, aku tak pernah absen dari kegiatan rohis. Ya, rohis telah mengubah hidupku yang kelam kelabu. Lingkaran itu, lingkaran rohis itu adalah lingkaran cahaya yang menerangi kegelapan zaman. Dan di dalam lingkaran itu, dapat kau temukan manisnya syurga duniawi.

 

Bumi Allah,

Invea Nur Mukti Lestari