Lamunan Perangkat

Setiap muslim itu ibarat perangkat | berbeda dengan kelebihannya tersendiri

Masing-masingnya mengemban tugas | tak dapat digantikan secara sempurna oleh yang lain

Namun, tepat seperti perangkat yang lain | ia akan kurang berarti saat sendiri

Tetapi, saat perangkat-perangkat itu dirakit menjadi sebuah alat | ia akan jauh lebih bermanfaat

Begitu pula dengan kita | saat umat muslim bersatu | tentu jauh lebih kuat dan bermanfaat

#LamunanPerangkat | Abu&Ummu syauqi

Warna Warni Kehidupan

Seperti langit | kadang mendung, kadang cerah

Begitulah hidup | kadang senang, kadang susah

Karena Allah Maha Adil | Dia jadikan semua saling bergantian hadir

Karena Allah Maha Adil | Dia ingin kita pandai bersabar dan bersyukur

Karena Dia menyukai keindahan | Dia biarkan hamba-Nya melukis warna kehidupan

Seperti pelangi | indah terlihat selepas hujan | indah terlihat dengan warna beragam

#WarnaWarniKehidupan |  Vea Ummu Syauqi

Karena Mereka Juga Ilmu

Allah itu Maha Pemberi ilmu | karenanya, Ia jadikan setiap makhluk-Nya sebagai guru bagi makhluk yang lain

Kerang adalah guru kesabaran | semut adalah guru kerja keras

Air itu ibarat ilmu | langit itu ibarat kehidupan

Setiap yang Dia ciptakan mengandung pembelajaran | adakah kita telah memikirkannya?

Maka jelilah membuka mata hati | ambillah pembelajaran dari setiap makhluk-Nya

#KarenaMerekaJugaIlmu | vea ummu syauqi

Dari Sebuah Kegagalan

“Gagal itu bukan masalah, yang jadi masalah adalah jika kau tak dapat mengambil hikmah darinya.”

Sudah tabiat manusia, menganggap kegagalan sebagai batu sandung. Ranjau berduri tuk meraih keberhasilan. Maka kehadirannya seringkali dikeluhi. Bahkan tak jarang bayang-bayangnya ditakuti. Lantas, jika memang seperti itu, mengapa Allah turunkan kegagalan untuk kita?

Pada hakikatnya, di balik sebuah kegagalan, Allah telah sisipkan setidak-tidaknya sebuah hikmah di baliknya. Bahkan, jika kita mau membuka mata hati kita untuk menatap lebih jauh, ada berjuta ibrah di baliknya.

Lewat sebuah kegagalan, Allah kirimkan berjuta kebaikan. Sebab di sebalik kegagalan, ada lahan muhasabah yang telah Allah turunkan. Sebab dengan kegagalan, kita dapat menilai dan mengukur diri. Telah sejauh manakah kita berjuang? Telah setulus apakah kita bertawakkal? Hingga di akhirnya, Allah ingin kita mengevaluasi diri. Di manakah bagian yang harus kita perbaiki?

Lewat sebuah kegagalan, Allah kirimkan berjuta kebaikan. Sebab dengan adanya kegagalan, kau akan berikhtiar lebih dalam berjuang. Sebab dengan banyaknya pengorbanan, akan menghasilkan cinta yang lebih dalam. Lantas, tidakkah kita berpikir bahwa kegagalan adalah jalan tuk membuktikan cinta kita padaNya?

Lewat sebuah kegagalan, Allah kirimkan berjuta kebaikan. Sebab dengan adanya kegagalan, Allah ingin kau terus berharap. Sebab dengan adanya kegagalan, Allah ingin kau terus mendekat. Lantas, tidakkah kita berpikir bahwa kegagalan adalah sebuah isyarat bahwa Allah ingin bermesra denganmu?

Lewat sebuah kegagalan, Allah kirimkan berjuta kebaikan. Sebab dalam sebuah kegagalan, Allah sisipkan sebuah parameter bernama keikhlasan. Sebab dengan sebuah kegagalan, Allah hendak mengujimu, benarkah semua yang kau lakukan itu hanya karenaNya?

Lantas, jika melihat jutaan kebaikan itu, masih pantaskah kita mengeluhkan kegagalan jika pada hakikatnya ia adalah salah satu anugerah yang sepatutnya kita syukuri? Karena yang terpenting itu bukanlah seberapa sukses atau gagal dirimu, namun seberapa dekat dirimu dengan Allah dalam melewati setiap peristiwa itu.

 

Bahan muhasabah diri yang seringkali mengkufuri nikmatnya,

Bumi Allah, 29 Mei 2013, 22.35

 

Invea Nur Mukti Lestari

Menjaga, Tak Sekedar Memperoleh

Ukhuwah. Begitu banyak orang membicarakan keindahannya. Salah satu karunia yang telah Allah berikan bagi umat manusia. Salah satu anugerah yang harganya jauh lebih mahal dari infak seluruh perbendaharaan yang ada di bumi, sebagaimana yang telah Allah cantumkan dalam firman-Nya,”Dan Dia (Allah) yang mempersatukan hati mereka (orang yang beriman). Walaupun kamu menginfakkan semua (kekayaan) yang berada di bumi, nisyaca kamu tidak dapat mempersekutukan hati mereka, tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sungguh, Dia Mahaperkasa, Mahabijaksana.” [Q.S.Al-Anfal: 63]

Ukhuwah. Mendengar kata tersebut, teringatkah dalam kepala sahabat awal-awal menjalin ukhuwah dengan teman seperjuangan sahabat? Terlintaskah bayangan saat sahabat pertama kali bertemu dengan teman seperjuangan sahabat? Terbayangkah masa-masa di mana sahabat dengan canggung memulai sebuah percakapan kecil yang berakhir dengan perkenalan dan teman seperjuangan yang baru? Ingatkah?

Betapa indahnya saat awal-awal kita menjalin ukhuwah dengan seorang teman seperjuangan yang baru. Awal-awal mengenalnya kita merasakan begitu banyak persamaan. Awal-awal mengenalnya kita saling berbagi semangat dakwah yang tinggi.

Namun, sadarkah sahabat, hakikatnya temen seperjuanganmu itu adalah amanah yang telah Allah beri padamu?

Ya, dia adalah amanah yang harus kau jaga. Pada dirinya terdapat hak-hak yang harus kita tunaikan. Mengingatkannya, mengajaknya bersama-sama menuju kebaikan, menjenguknya ketika sakit, mencintainya sebagaimana kita mencintai diri kita sendiri, dan begitu banyak hak-hak lainnya yang harus kita penuhi. Pada dirinya terdapat juga cermin untukmu berkaca, sebagaimana yang telah Rasulullah sampaikan,”Mukmin yang satu adalah cermin bagi mukmin yang lain,”

Maka, pekerjaan seorang muslim kepada sesama tak hanya sekedar memperoleh ukhuwah. Pekerjaan seorang muslim kepada sesama tak hanya sekedar melebarkan jaringan tuk mendapatkan koneksi. Pekerjaan seorang muslim kepada sesama tak hanya sekedar itu. Ada pekerjaan lebih di balik itu. Ada amanah lebih di balik setiap perkenalan.

Menjaga, tak sekedar memperoleh.

Saat kita baru menjalin tali persaudaraan dengan seseorang, maka tugas kita berikutnya adalah menjaga ukhuwah tersebut. Saat kita baru memulai perkenalan dengan seseorang, maka tugas kita berikutnya adalah menjaga ukhuwah tersebut. Saat kita mendapatkan teman seperjuangan yang baru, maka tugas kita berikutnya adalah menjaga ukhuwah tersebut.

Menjaga ukhuwah tentu tak semudah yang kita bayangkan. Menjaga ukhuwah tentu akan jauh lebih sulit dibandingkan saat kita mengawali menjalin ukhuwah. Sebab dalam lika-liku ukhuwah, kau akan mendapati perbedaan. Sebab dalam lika-liku ukhuwah, kau akan mendapati goncangan. Sebab dalam lika-liku ukhuwah, kau akan mendapati ujian.

Ukhuwah itu ibarat sebuah kepercayaan. Kepercayaan mungkin pada awalnya begitu mudah didapatkan, namun dibutuhkan usaha lebih untuk menjaganya. Sahabat saya pernah berkata,”Kepercayaan itu ibarat kertas, sekali kita remas ia tak akan kembali sempurna. Sekali kita berkhianat, akan sulit untuk memperoleh kepercayaan kembali seperti semula,” [Seorang sahabat berinisal RA]. Pun jua dengan ukhuwah, jika kita merusaknya, tentu akan sulit bagi kita untuk menjalin kembali ukhuwah tersebut.

Oleh sebab itu, penting kiranya bagi kita untuk menjaga ukhuwah. Agar tali persaudaraan itu semakin kokoh. Agar cahaya permatanya semakin berkilau. Agar setiap pertemuannya semakin barakah. Pun jua agar ukhuwah kita seperti yang dilukiskan dalam hadits Rasulullah,” Allah mempunyai hamba-hamba yang bukan nabi dan bukan syuhada, tapi para nabi dan syuhada tertarik oleh kedudukan mereka di sisi Allah.

Para sahabat lantas bertanya, “Wahai Rasulullah, siapa mereka dan bagaimana amal mereka? Semoga saja kami bisa mencintai mereka.”

Rasulullah saw. pun bersabda, “Mereka adalah suatu kaum yang saling mencintai dengan karunia dari Allah. Mereka tidak memiliki hubungan nasab (kekeluargaan) dan tidak memiliki harta yang mereka kelola bersama.

Demi Allah keberadaan mereka adalah cahaya dan mereka kelak akan ada di atas mimbar-mimbar dari cahaya. Mereka tidak merasa takut ketika banyak manusia merasa takut. Mereka tidak bersedih ketika banyak manusia bersedih.”

Kemudian Rasulullah saw. membacakan firman Allah:“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”. (Q.S. Yunus [10]: 62).

Alangkah rindunya kita untuk memperoleh semua itu. Betapa tentu kita mengharapkan untuk dapat kembali berkumpul bersama dengan semua teman seperjuangan kita di surga-Nya kelak. Semoga Allah menjadikan kita salah satu dari kaum yang telah digambarkan Rasulullah dalam haditsnya tersebut. Aamiin..

 

Bahan muhasabah untuk diri ini yang berkali-kali merusak ukhuwah suci. Maafkan diri ini yang seringkali mengecewakanmu, sahabat.

Bumi Allah, 14 Mei 2013, 19.47

Invea Nur Mukti Lestari

 

 

Tambahan ^^v

Namun, bagaimanakah jika tanpa sengaja kita telah merusak ukhuwah yang telah terjalin?

Maka yang perlu kita lakukan adalah berikhtiar dengan cara meminta maaf. Menurut Salim A Fillah, dalam ukhuwah terdapat sekeping mata uang yang paling mahal, di satu sisi ia bertuliskan,”Akuilah kesalahanmu,” dan di sisi lain terukir sebuah kalimat,”Maafkanlah saudaramu yang bersalah,”

Lalu, bagaimana jika sahabat kita tidak mau memaafkan kita dan justru malah menjauhi kita?

Bersabarlah, sahabat. Jika ikhtiar meminta maaf telah kau lakukan, berusaha menjalin kembali ukhuwah telah kau laksanakan, serta menyambung tali silaturahmi telah kau usahakan, namun ternyata ia tetap tak bergeming dan tetap tidak memaafkan kita, maka berdo’alah pada Allah. Mintalah pada-Nya untuk melembutkan hati sahabat kita agar ia mau memaafkan kita. Sesungguhnya, mudah bagi Allah untuk membolak-balikkan hati manusia. Di samping itu, marilah kita evaluasi diri kita. Mungkin saja usaha kita masih kurang cukup, mungkin saja dosa-dosa kita membuat benteng hijab terkabulnya do’a dari Allah, teruslah bermuhasabah dan berhusnudzonlah pada Allah. Dan tak lupa, tetaplah mendo’akan yang terbaik untuk sahabat kita sekalipun ia tak mengetahuinya, atau sekalipun ia menjauhi kita.

Dan di akhir, izinkan saya tutup notes kali ini dengan sebait mutiara yang tercantum dalam buku Dalam Dekapan Ukhuwah karya Salim A Fillah,

“Karena saat ikatan melemah,

Saat keakraban kita merapuh,

Saat salam terasa menyakitkan,

Saat kebersamaan serasa siksaan,

Saat pemberian bagai bara api,

Saat kebaikan justru melukai,

Aku tahu,

Yang rombeng bukan ukhuwah kita,

Hanya iman-iman kita,

Yang sedang sakit, atau mengerdil,

Mungkin dua-duanya,

Mungkin kau saja,

Tentu terlebih sering,

Imankulah yang compang-camping,”

 

Selamat menjalin ukhuwah, bersama menuju jannah-Nya!

Belajar dari Orang Sakit

Sudah lebih dari tiga tahun saya mengenalnya, mengenal seorang insan berinisial ‘amma’ yang Allah uji dengan sakit yang membuatnya harus berkali-kali bolak-balik rumah sakit. Selama mengenalnya itulah, saya pun mendapat banyak pembelajaran berharga darinya.

Pernahkah sahabat melihat orang yang terbaring di rumah sakit? Melihat mereka yang di dalam tubuhnya tertanam penyakit-penyakit kronis seperti kanker misalnya? Pernahkah? Jika kita yang ada di posisi mereka, apa yang akan kita lakukan?  Apakah kita akan mengeluh? Apakah kita akan menyalahkan Allah? Ataukah kita hanya terdiam pasrah?

Tapi sahabat, tidak dengannya. Lewat insan itu, saya belajar arti sebuah keikhlasan. Tak pernah sedikit pun terlontar dari bibirnya sebuah pertanyaan,”Ya Allah, mengapa harus saya yang mengalami ini?” Ia menerima ujian sakit tersebut dengan keikhlasan. Ia tak pernah menyalahkan Allah atas apa yang ia alami. Sebaliknya, ia justru menerimanya dengan dada yang lapang. Ia mengerti ada rencana terbaik dari Allah di balik ujian sakitnya. Lalu bagaimana dengan kita? Apakah kita akan bersikap seperti itu ketika ujian Allah datang menghampiri?

Lewat dirinya pulalah saya belajar arti sebuah ikhtiar yang maksimal. Keadaan yang membuatnya harus bulak-balik masuk UGD tidak menyurutkan semangatnya untuk sembuh. Vonis-vonis dokter yang mengatakan ia tidak akan mampu bertahan sama sekali tidak mematahkan keinginannya untuk bisa sehat. Ia lakukan yang terbaik agar ia bisa sembuh. Ia bahkan sampai menjalani pengobatan ke Singapura untuk kesembuhannya. Lalu, bagaimana dengan kita? Sudahkah kita berusaha melakukan yang terbaik dalam hidup kita? Sudahkah kita memaksimalkan seluruh ikhtiar kita?

Lewat orang itu, saya belajar arti dari sebuah tawakkal. Setelah semua jerih payah ikhtiarnya, dia tetap menyerahkan keputusan terbaik pada Allah. Dia bahkan sampai berkata,”Aku sudah berusaha semampuku, mengupayakan kesembuhanku, namun, andaikata Allah berkehendak mencabut nyawaku saat ini juga, aku ikhlas. Aku tahu Allah memiliki rencana terbaik untuk kita,”

Dan dari orang itu pulalah, saya belajar arti dari sebuah semangat dakwah. Sekalipun kondisinya seperti itu, ia tidak berhenti berdakwah. Ia tetap aktif mengikuti kegiatan rohis baik di sekolahnya maupun kegiatan DKM di sekitar rumahnya. Ia tetap bersemangat mentarbiyah adik kelasnya. Ia tetap menjaga amalan-amalan yaumiahnya. Ia bahkan dapat meningkatkan prestasinya di sekolah. Di tengah keterbatasannya, ia tetap bersemangat melibatkan diri dalam dakwah. Lalu, bagaimana dengan kita?

Lewatnya, saya tersadar. Seharusnya saya dapat lebih bersyukur, Allah telah melimpahkan kesehatan pada diri saya sehingga aktifitas saya sama sekali tidak terganggu.

Lewatnya, saya tersadar. Jika amma yang sakit saja mampu berkontribusi untuk dakwah, mengapa saya yang sehat tidak mampu berkontribusi lebih?

Padahal, Rasulullah telah memperingatkan kita dengan sebuah hadits,”Dua kenikmatan, kebanyakan manusia tertipu pada keduanya: kesehatan dan waktu luang”. (HR. Bukhari, no: 5933)

Oleh karena itu, yuk ah kita syukuri kesehatan ini dan kemudian kita manfaatkan sebaik-baiknya untuk meraih cinta-Nya.

Bahan muhasabah diri, ketika kenikmatan sehat itu seringkali terabaikan.

Bumi Allah, 13 Mei 2013, 11.01

Invea Nur Mukti Lestari

Futur

Futur

Berawal dari sebuah renungan, ketika diri ini terpendam dalam sebuah kefuturan, tersingkap sebuah hikmah kecil yang mungkin jarang kita sadari.

Futur.

Siapa yang tak kenal dengan kata di atas? Terutama bagi mereka yang menyandang status ‘aktivis’, tentu mereka tak akan asing dengan kata di atas.

Ya, futur.

Suatu kondisi di mana grafik iman kita menurun. Suatu masa di mana amalan-amalan yaumiah kita berkurang. Suatu waktu di mana semangat ghirah kita melemah. Suatu keadaan di mana rasa malas menghampiri kita.

Futur.

Suatu keadaan di mana kita menganggapnya sebagai salah satu duri dalam menapaki jalan perjuangan menuju cinta-Nya. Suatu keadaan di mana kita berharap ia tak pernah datang menghampiri kita. Suatu keadaan di mana kira menganggapnya sebagai noda dalam lika-liku grafis iman kita.

Di sini saya belajar, tapi saya mencoba memahami sisi yang lain.

Pernahkah kita pikirkan, jika futur itu sebegitu buruknya di pandangan kita selaku manusia, kenapa Allah menjadikan keadaan itu ada? Pernahkah kita pikirkan, adakah ibrah yang tersembunyi di sebalik ke-futur-an?

Sekali lagi, di sini saya belajar, tapi saya mencoba memahami sisi yang lain.

Pernahkah sahabat bertafakur sejenak memaknai ke-futur-an? Pernahkah sahabat mencoba untuk berhusnudzon pada Allah dengan adanya ke-futur-an yang melanda kita?

Sekali lagi saya tekankan, di sini saya belajar, tapi saya mencoba memahami sisi yang lain.

Futur itu ada, agar kita selaku manusia tidak bersikap sombong. Sebab dengan naik-turunnya iman, kita akan terhindar dari kondisi membanggakan diri.

Futur itu ada, agar kita selaku manusia tidak bersikap sombong. Sebab dengan hadirnya futur, kita akan merasa lemah tiada berdaya di hadapan-Nya

Futur itu ada, agar kita selaku manusia tidak bersikap sombong. Sebab Allah membenci makhluk-makhluk-Nya yang sombong.

Lagi, saya tekankan, di sini saya belajar, tapi saya mencoba memahami sisi yang lain.

Pernahkah sahabat renungkan bahwa perjuangan melawan ke-futur-an memberikan begitu banyak kebaikan?

Bukankah besarnya pahala berbanding lurus dengan beratnya haling rintang?

Bukankah besarnya pahala berbanding lurus dengan besarnya kekuatan sahabat melawan hawa nafsu?

Saya kembali tekankan, di sini saya belajar, tapi saya mencoba memahami sisi yang lain.

Jika seperti itu, mengapa kita masih mengeluh dengan keadaan futur? Bukankah kita bisa menjadikannya sebagai ajang berjuta kebaikan? Bukankah Allah senantiasa memberikan yang terbaik untuk kita?

Lantas, apakah ujian futur ini masih akan kita lewati dengan sebuah keluhan atau sebuah kesabaran yang digenapkan dengan kesyukuran?

Bahan muhasabah diri, ketika ke-futur-an itu datang

Bumi Allah, 11 April 2013, 19.57

Invea Nur Mukti Lestari

Oh ya, sekedar tambahan untuk sahabat, jika kita tengah dijauhkan dari kondisi futur, jangan hanya menikmati manisnya iman itu sendirian, sahabat! Lihatlah ke sekitar kita! Tengoklah saudara-saudara kita! Segera sapa mereka dan tanyakan kabar imannya, mungkin saja di balik senyuman manisnya tersimpan sebuah ujian ke-futur-an. Sebab mungkin di balik ketenangannya, tersembunyi jeritan hati meminta uluran tangan kita untuk membantu mereka melewati ujian ke-futur-an dengan kesabaran dan kesyukuran.

Jangan sampai kita terlalu sibuk dengan dunia kita sendiri, sampai-sampai kita membutakan mata hati dari mereka, dan hanya duduk diam, menanti mereka datang seraya berkata,”Sahabat, apa kau punya kata-kata renungan atau motivasi? Saya sedang futur,”

Jazakallahu khairan katsira untuk teh shela suzune, syukron teh udah nemenin vea ngerenung lewat sms waktu itu, juga untuk Jodi, syukron untuk sms yang meminta renungan/motivasi, vea jadi merasa tertegur karena terlalu fokus pada diri sendiri 😀

Hujan, Permata Rahmat-Nya yang Membasahi Bumi

Sahabat, apa yang ada di dalam benak sahabat ketika tetesan-tetesan air jatuh membasahi bumi? Mulanya hanya setetes, namun, tak lama kemudian tetesan-tetesan itu saling berlomba jatuh menuju permukaan bumi yang tandus. Apa yang ada di benak sahabat saat tetesan itu mulai membasahi seragam sahabat yang baru sahabat pakai hari itu?

Mungkin kebanyakan dari kita akan menggerutu,”Uh, hujan lagi, hujan lagi! Baru aja seragam dipake udah basah gini. Mana nanti di jalan banjir, jemuran ngga kering. Kenapa sih harus turun hujan segala?”

Kita seringkali berpikir dengan spontan melihat suatu sisi dalam sudut pandang kerugian bagi diri kita. Sehingga, saat rahmat dari-Nya itu turun, ada kalanya kita membutakan mata hati kita sendiri dari sikap husnudzhan kepada Allah.

Padahal kalau kita mencoba untuk mentafakurinya, minimal dalam benak kita akan muncul sebuah pernyataan,”Allah pasti memiliki maksud dan rencana tersendiri dengan menurunkan hujan hari ini,”

Nah, biar nanti kita tak lagi mengeluhkan rintik-rintik hujan, yu kita bertafakur sejenak mengenai hujan.

Pertama, mari kita kaitkan antara hujan dengan tumbuhan. Sahabat tahu kan apa saja yang dibutuhkan tumbuhan untuk berfotosintesis? Yup, gas karbon dioksida, klorofil, cahaya matahari dan air! Terus, darimana itu tumbuhan mendapatkan air? Ada banyak kemungkinan, salah satunya adalah dari air hujan!

Di dalam surah Al-Baqarah ayat 22, Allah Azza wa Jalla berfirman,

“(Dialah) yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dialah yang menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia hasilkan dengan (hujan) itu buah-buahan sebagai rezeki untukmu. Karena itu, janganlah kamu mengadakan tandingan-tandingan bagi Allah, padahal kamu mengetahui,”

Bahkan hal ini diterangkan dengan lebih jelas lagi dalam surah An-Naml ayat 60,

Bukankah Dia (Allah) yang menciptakan langit dan bumi dan yang menurunkan air dari langit untukmu, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu kebun-kebun yang berpemandangan indah? Kamu tidak akan mampu menumbuhkan pohon-pohonnya. Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Sebenarnya mereka adalah orang-orang yang menyimpang (dari kebenaran.)”

Hal yang sama diterangkan pula dalam ayat-ayat cinta-Nya yang lain. Sahabat dapat melihat sendiri dalam surah Luqman ayat 10, surah Ibrahim ayat 32, surat Qaaf ayat 9, surah Az-Zumar ayat 21, serta dalam ayat-ayat lainnya. Afwan, vea tidak bisa menuliskan semua ayatnya agar sahabat penasaran dan dapat mencarinya ^^v

—Tapi, ve, kan bisa saja tumbuhan itu mendapatkan air dari air PDAM yang sengaja kita siramkan pada mereka!—

It’s ok, sahabat, tapi, darimana air PDAM itu asal mulanya? Sahabat tahu sendiri kan, siklus air? Yup, air PDAM itu sendiri pada hakikatnya berasal dari air hujan. Allah bahkan telah menjelaskannya dalam surah Az-Zumar ayat 21,

“Apakah engkau tidak memperhatikan, bahwa Allah menurunkan air dari langit, lalu diaturnya menjadi sumber-sumber air di bumi, kemudian dengan air itu ditumbuhkan-Nya tanam-tanaman yang bermacam-macam warnanya, kemudian menjadi kering, lalu engkau melihatnya kekuning-kuningan, kemudian dijadikan-Nya hancur berderai-derai. Sungguh, pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal sehat,”

Nah, setelah membaca ayat-ayat dari al-qur’anul kariim di atas, sudahkah sahabat temukan manfaat dari air hujan yang telah Allah turunkan?

Sahabat, sekarang, coba renungkanlah ini, di sini, di negeri kita, di Indonesia, hujan yang turun masih tetesan air rahmat-Nya. Hujan yang turun masihlah rintikan air yang sangat bermanfaat untuk makhluk ciptaan-Nya. Hujan yang turun masihlah gerimis air yang menyegarkan bumi-Nya.

Sementara itu, saudara-saudara kita di Palestina, harus melewati harinya dengan rintikan peluru yang senantiasa menerjang tiada henti. Saudara kita di Palestina justru harus menyaksikan tetesan darah-darah syuhada yang membasahi tanah suci-Nya.

Namun, apakah sahabat pernah mendengar mereka mengeluh? Pernahkah dalam sebuah surat kabar maupun berita sahabat mendengar keluhan mereka? Pernahkah?

Jawabannya, tidak, sahabat! Hujan peluru tak membuat keimanan mereka turun. Hujan batu tak membuat mereka futur. Hujan senjata tak membuat mereka kufur.

Hujan peluru itu justru membuat keimanan mereka semakin naik. Hujan batu itu justru membuat mereka semakin bersemangat dalam jihad fisabilillah. Hujan senhata itu justru membuat mereka menjadi ahli syukur.

Lantas, sahabat, pantaskah kita mengeluhkan tetesan kasih sayang-Nya? Masih pantaskah kita mengkufuri air hujan yang jelas-jelas memberikan banyak manfaat untuk kita? Masih pantaskah kita menggerutu saat rintikan air hujan itu membasahi bumi kita?

Sahabat, ingatlah firman-Nya dalam surah Al-Furqan ayat 48-49,

Dan Dialah yang meniupkan angin (sebagai) pembawa kabar gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan); dan Kami turunkan dari langit air yang sangat bersih, agar (dengan air itu) Kami menghidupkan negeri yang mati (tandus) dan Kami memberi minum kepada sebagian apa yang telah Kami ciptakan, (berupa) hewan-hewan ternak dan manusia yang banyak,”

Sahabat tahu, saat hujan curahan rahmat-Nya datang dengan begitu deras, merupakan salah satu waktu di mana kita dianjurkan berdo’a, itu merupakan salah satu waktu dimana terijabahnya do’a. Lantas, masih adakah alasan untuk tidak mensyukuri turunnya air hujan?

Perhatikanlah surah Al-Furqan ayat berikutnya, yakni ayat 50,

Dan sungguh, Kami telah mempergilirkan (hujan) itu di antara mereka agar mereka mengambil pelajaran; tetapi KEBANYAKAN MANUSIA TIDAK MAU (BERSYUKUR), bahkan mereka mengingkari (nikmat),”

Semoga Allah menjadikan kita semua sebagai ahli syukur.

Karena itu, kalau hujan turun, cobalah kita ganti gerutuan kita dengan sebuah kata indah penuh makna, “Alhamdulillah,”

 

Bahan muhasabah untuk diri ini yang seringkali lalai mensyukuri semua karunia-Nya.

Bumi Allah, 4 Desember 2012, 15.39

Invea Nur Mukti Lestari

Gelegar Sang Petir!

Semua bermula dari celutukan seseorang saat kami tengah berteduh dari setiap tetesan rahmat-Nya seraya bercengkrama. Entah dari mana mulanya sampai kami akhirnya membicarakan masalah suara alam yang begitu gagah. Petir.

…Petir misalnya. Seharusnya, kalau kita benar-benar bertafakur petir, justru bukan rasa takut pada petir yang muncul dalam diri kita, tapi seharusnya keyakinan kita akan kekuasaan dan kebesaran-Nya semakin bertambah…”

Kurang lebih seperti itulah perkatannya. Sederhana. Biasa. Tapi rasanya mengena. Hati ini pun dipenuhi dengan rasa penasaran yang cukup mendalam. Dan Yang Maha Kuasa, seolah mampu mendengar bisikan hatiku akhirnya memberikan diri ini waktu untuk mentafakuri petir di keesokan harinya.

Waktu menunjukkan sepuluh-lima menit akhir sebelum berkumandangnya adzan maghrib tika diri ini selesai berpamitan pada sahabat-sahabat stm. Hujan turun tak terlalu deras, juga tak terlalu bergerimis. Teringat akan ibu yang cemasnya bukan main jika diri ini pulang di atas waktu maghrib, akhirnya aku pun nekat menerobos hujan dan menaiki angkot meninggalkan mesjid ulul albab dan gerbang stm pembangunan, tempat di mana diri ini berkumpul dalam sebuah lingkaran cahaya, liqo tarbiyah.

Sepanjang perjalanan, suara petir yang menyambar tak henti-hentinya menggelegar. Diri ini pun teringat perkataan orang itu kemarin. Rasa penasaran itu kembali hadir. Mata ini pun menatap lekat langit, memperhatikan setiap goresan petir kekuasaan-Nya. Perlahan, lambat laun, timbul banyak pertanyaan dalam diri ini. Termenung diri ini dengan mata yang tak sedikit pun berkedip menatap setiap petir yang hadir bergantian menghiasi langit. Ada ucapan tasbih dan takbir di sana. Terpana diri ini. Subhanallah! Saat itu,. aku merasa betapa cantiknya petir yang selama ini sempat sedikit kutakuti.

Kuperhatikan terus goresan petir itu sampai akhirnya aku harus turun dari angkot. Bagaimana petir terbentuk? Kenapa bentuk petir itu bercabang? Kenapa petir ngga berbentuk lurus saja? Berbagai pertanyaan semacam itu muncul di benakku.

Setibanya di rumah, lekas-lekas diri ini membaca buku mencari tahu. Bibir ini tak henti-hentinya mengucap asma-Nya saat memperoleh jawaban dari semua pertanyaan. Sebuah senyuman muncul menghias. Perkataan orang itu memang benar.

—————————-

Sahabat, pernahkah kita mencoba merenungi sesuatu? Semua yang terjadi? Semua yang telah Dia ciptakan di muka bumi ini? Pernahkah kita berusaha mencari tahu akan suatu hal hanya dengan tujuan agar semakin bertambah keimanan dan ketaqwaan kita? Pernahkah?

Pernahkah sahabat berpikir bahwa semua yang telah Allah ciptakan memiliki pesonanya tersendiri?

Tak perlu jauh-jauh, dari dalam diri kita saja, khususnya pada bagian terkecil dari makhluk hidup, sel. Tahukah sahabat dalam sel yang begitu kecil terdapat organel-organel sel yang begitu kompleks dan rumit yang bahkan sistem kerjanya melebihi dari sistem kerja yang selama ini digunakan manusia. Bahkan para ilmuwan dan peneliti pun terpana saat menyaksikan sendiri fakta tersebut.

Pernahkah sahabat berpikir siapa yang mengatur fungsi-fungsi setiap organel sampai-sampai tak ada kesalahan sedikit pun dalam bekerja? Mampukah tubuh kita mengendalikan fungsi-fungsi tersebut? Jawabannya tidak sahabat! Kita tidak mampu mengendalikan fungsi-fungsi tersebut karena pada hakikatnya sel-sel yang selama ini bekerja tiada henti itu bukanlah milik kita. Tapi, semua itu semata-mata hanyalah titipan dari-Nya. Hanya Dia-lah yang mampu mengatur fungsi-fungsi organel semua makhluk ciptaan-Nya.

Itu baru sebuah sel sahabat, belum jaringan dalam tubuh kita, belum organ, sistem organ, belum sistem organ hewan, tumbuhan, alam semesta.

Ibrah itu banyak, sahabat. Dia berserakan di mana-mana. Yang menjadi pertanyaan, sejeli apa kita dalam mencarinya? Buka mata hati sahabat, siapa tahu hikmah itu sebenarnya ada tepat di depan mata sahabat, hanya saja sahabat terus menutup-nutupinya dengan berpura-pura tak tahu dan tak mau tahu.

Maka, jangan sampai diri kita menjadi golongan manusia yang Dia sebutkan dalam firman-Nya di surah Al-A’raf ayat 179,

Dan sungguh, akan Kami isi neraka Jahanam banyak dari kalangan jin dan manusia. Mereka memiliki HATI, tetapi TIDAK DIPERGUNAKANnya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai MATA, (tetapi) TIDAK DIPERGUNAKANnya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai TELINGA, (tetapi) TIDAK DIPERGUNAKANnya untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah,”

Hii, naudzubillahimindzalik..

Edisi Petir ini spesial untuk ‘orang itu,’ sang pengagum petir, penyuka tafakur, syukran, kata renungannya begitu meresapi qalbu ^^v

 

Bahan muhasabah untuk diri ini yang terkadang mengkufuri nikmatnya dengan tidak menggunakan apa yang telah Dia amanahkan.

Bumi Allah, 26 November 2012, 20.34

Invea Nur Mukti Lestari