Fenomena Mudik

Libur panjang empat hari kemarin memberikan sebuah pembelajaran indah. Suatu peristiwa di mana langsung dimanfaatkan sebagai ajang mudik, khususnya bagi mereka—para mahasiswa perantau.

Dan, ya! Kita saksikan para mahasiswa itu berusaha keras dalam menyelesaikan studinya dengan nilai terbaik. Apalagi yang dari daerah merantau ke kota. Tentunya mereka ingin mempersembahkan yang terbaik untuk orang tua dan daerahnya.

Dan, ya! Kita kembali pada kasus mudik. Kita saksikan pula, para mahasiswa itu sibuk membeli beberapa oleh-oleh terbaik untuk kedua orang tuanya, sanak saudaranya.

Mereka berusaha melakukan yang terbaik. Mereka berusaha memberikan yang terbaik.

Dan, ya! Di balik semua peristiwa itu, ada ibrah indah yang disembunyikan-Nya. Di balik semua peristiwa itu, ada hikmah cantik mengintip malu dari-Nya.

Pernahkah kita berpikir bahwa sesungguhnya kita tengah merantau di dunia ini? Ya, dunia ini hanyalah tempat perantauan. Hanya sekedar tempat singgah sementara untuk kita dalam mempersiapkan yang terbaik sebelum kembali ke rumah yang sesungguhnya.

Jika kita bekerja keras mati-matian untuk meraih nilai A, coba kita pikirkan kembali, sekeras apa usaha kita untuk mendapat nilai baik dari-Nya?

Jika kita berjuang mati-matian untuk meraih simpati dosen, coba kita pikirkan kembali, sebesar apa perjuangan kita untuk mendapat ridha-Nya?

Jika kita mempersiapkan oleh-oleh terbaik untuk dibagikan di kampung nanti, coba kita pikirkan kembali, oleh-oleh terbaik apa yang telah kau persiapkan untuk-Nya? Oleh-oleh terbaik apa yang telah kau persiapkan saat nanti kau kembali pada-Nya? Oleh-oleh terbaik apa yang telah kau persiapkan untuk nanti saat berhadapan dengan-Nya?

Coba pikirkan kembali, kita berusaha mati-matian untuk meraih sesuatu yang fana, namun, apakah kita juga telah berusaha mati-matian untuk meraih sesuatu yang hakiki?

Kita berjuang mati-matian untuk meraih duniawi, tapi apakah kita juga telah berjuang mati-matian untuk meraih syurgawi?

Sepatutnya kita malu, fenomena mudik ini seharusnya menjadi tamparan bagi kita semua.

Maka, mari kita kembali perbaiki diri, jika untuk dunia saja kita berjuang mati-matian sampai seperti ini, maka untuk akhirat pun kita harus berjuang lebih mati-matian kembali.

Bahan muhasabah diri,
Bumi Allah, 16 Oktober 2013, 06.43

Invea Nur Mukti Lestari

Leave a comment